Perempuan yang Sedang Belajar; Mencinta!
Fokuscirebon - Mojok, Mampir Nulis, Cerpen - Karena pahit akan selalu ada,
selagi masih berlakunya ejaan yang diakui dengan tulisan m-a-n-i-s. Tak perlu takut
mengejanya, meskipun terpatah – patah. Tak perlu ragu untuk bangkit, meskipun
tertatih. Larut dalam pusaran keintiman yang telah menjadi sebuah kaleidoskop
yang terbingkai permanen memang akan terus membuntuti, kemanapun raga berlari ataupun bersembunyi.
Namun, pemaksaan itu penting. Terlalu sulit untuk menemukan titik terang,
ketika tidak memaksakan diri untuk beranjak dari kegelapan. Dengan mengenalmu,
keberanian itu muncul mendadak. Bak nyanyian jiwa yang berujar dalam dada;
inilah saatnya!
(Al- Aziz, Cirebon, 20 Desember 2016)
Sudah terlalu lama harum mawar
tak lagi semerbak. Wewangian apapun bentuknya, tak tercium aromanya. Organ
tubuh serasa tak berfungsi sempurna, tiba – tiba macet begitu saja. Hanya satu
yang masih berjalan alami, kesedihan yang mengalir bermuara pada satu tujuan;
tetesan kekecewaan! Kesekian kalinya, Aku kembali menjadi sosok yang
menyeamkan! Menjadi seorang predator, meneguk bermacam minuman, menghisap,
memangsa. Semua itu menjadi cirri khas yang terpatri, seolah seperti kepribadian.
Lama Aku menjalani detik sampai
ke menit, berlanjut sampai hari, terbangun telah berganti bulan, hingga terlalu
larut tak sadar telah berganti kalender. Seperti sebuah keajaiban, bagiku.
Seseorang yang Aku anggap sebagai saudara seperjuangan. Membuatku sontak
terperenjat terbangun, dengan langkah tergesa – gesa meraup segayung untuk
membasuh muka agar terlihat segar. Lebih
dari itu, seperti kesurupan jin dari timur tengah seraya berkata, “Jikalau
Semesta memberikan kesempatan, niscaya Aku akan melindunginya”
Dalam urusan kasih, Aku biasa
terbuka, dan tak canggung untuk menceritakan. Mulai dari yang mandeg, lancar jaya seperti bus malam,
sampai diselip dari kiri ditikungan. Tidak untuk yang satu ini, bukan menjadi
konsumsi publik bak figuran papan triplek, bukan juga seperti santapan
berjamaah ajang curhat mulai dari layar lebar sampai layar mini. Ini murni Aku
privatisasi, menjadi kepentingan pribadi. Menjadi sebuah rahasia perusahaan.
Kalau negara, tak perlu ada rahasia – rahasiaan, semuanya harus akuntabel dan
transparan.
***
Bukan tanpa sebab, terlalu
beresiko rasanya ketika seseorang yang menjadi pujaan dalam lingkungan dan
keadan yang serba sama, tak jauh berbeda, tekadang juga berlebih menjadi
seorang kerabat keluarga. Ditambah lagi bukan cuman Aku satu – satunya manusia
yang tertarik dengan sumber daya dan potensi yang ada. Tak sedikit yang
kemuidan beropini, “Sangat disayangkan jika jatuh ke tangan yang salah dan tak
bertanggung jawab,” . Citra yang Ada
terhadapku, menjadi tantangan. Terlanjur nyemplung,
naïf rasanya jika tidak sampai becek sekujur badan. Karena Aku selalu memiliki
keyakinan; semua lelaki itu sama dalam urusan jamaah biologiskiyah al
cintakiyah.
Jangan salah fikir, Aku bukan
terjebak oleh kisah – kisah murahan yang sering kita dengar dan saksikan bersama bahwa lokasi tak jarang menimbulkan
sebuah benih kasih. Sama sekali bukan itu! Aku sengaja menjerusmuskan diri.
Mengikuti naluri, berjalan alami, tanpa tambahan pestisida ataupun bumbu kimia.
Namun memang, aksi nyata sama sekali belum pernah dilewati. Masih sebatas basa –
basi ala sales yang menawarkan dan
menonjolkan kelebihan, dan Aku yakin itu membosankan, tak sedikitpun membuatnya
luluh lantah dengan seseorang yang tak berkarisma. Setidaknya tidak seperti
praktik lain, Aku tidak menjatuhkan lawan saing, itu saja bedanya!
Berbagai pergulatan batin dan
fikiran tak dipungkiri menghampiri. Entah tekanan dari luar maupun dalam diri
sendiri bak meriam dalam perang. Mendengar banyak yang sudah melakukan
ekspansi, serta berbagai gerakan intelejen yang dilakukan oleh pasukan sekutu
dan koalisinya. Sementara Aku, jangankan
dukungan materil, moril pun tak ada. Jelas jika dianalisis menggunakan teori
ekononomi S-W-O-T itu, entah kekuatan, peluang, kelebihan, Aku tak punya modal
itu. Mungkin hanya satu yang menjadi modal utama; suara hati yang mendorong
untuk melakukan jihad memperjuangkan sesuatu yang dicintai sepenuh hati.
Tekad yang lebih dekat dengan
kata nekat akhirnya Aku menceritakan apa yang Aku yakini kepada beberapa teman.
“ Aku putuskan untuk berani bertarung, apapun risikonya. Jika ia terjadi, jagat
raya berati masih memberi kesempatan dan amanah kepadaku untuk berubah,” Keluarlah kata – kata itu dari mulutku yang
bau, baru bangun tidur. Sebut saja temanku yang juga pernah mengalami nasib
sama itu dengan inisial Uya. “ Serius? Jangan, lingkungan ini memiliki fatwa
dilarang menjalin hubungan lawan jenis. Eh maksudku, dalam satu lingkaran,”
ujarnya dengan muka sok serius yang membuatnya semakin memprihatinkan.
Memang itu sudah menjadi salah
satu perhitunganku. Namun apalah daya, Aku cuma manusia biasa yang sama sekali
tidak berusaha untuk menjadi seseorang yang sempurna, apalagi menjadi
ekspektasi semua kaum hawa. Tugasku hanya satu, memperjuangkan. “ Aku udah
mengingatkan, jangan nekat. Dia udah tertarik sama yang lain dan tinggal satu
langkah lagi menuju jenjang ikatan,”
kembali temanku mengingatkan dengan mulutnya yang sedikit mengeluarkan
busa disela – sela bibirnya.
Informasi mengenai Aku mengincar
target menyebar keseluruh jagat dunia persilatan, bak sayambara, masuknya Aku
turut campur langsung diumumkan. Mendengar cerita dari para tim suksesnya
berbagai gerakanpun semakin masif. Manuver – manuver dilakukan, termasuk gerakan
mempengaruhi jangan sampai Aku yang memperoleh permata itu. “ Kamu yakin? Bukan
bermaksud melarang, itu hakmu.” Kali ini temanku terdengar lemas mengingatkan.
***
Suatu malam ditengah guyuran
hujan yang menambah kesenyuian, dipojok ruangan biru dengan tembok tripleknya
yang terlihat kusam namun tetap menggairahkan dengan kata – kata semboyan
perjuangan. Sedikit demi sedikit Aku kembali mengurai kebelakang, Apa benar
atau tidak yang akan Aku perbuat kedepan. Aku kembali berfikir, merenung,
berdamai dengan hati. Sampai kemudian bisikan itu datang, tidak ada salah atau
kalah dalam urusan berjuang. Aksi nyata walaupun hanya secuil akan berkesan
ketimbang ribuan kata – kata yang hilang terbawa angin dan lapuk termakan zaman.
Sontak kemudian Aku ingat dengan
salah satu Idolanya yang kebetulan sedang mampir di sebuah restoran. Bergegas
Aku mengambil kamera, tarik nafas dalam – dalam untuk mengumpulkan keberanian.
Kuda besi Aku tunggangi menerobos celah – celah hujan sampai lampu merah. Si
Idola itu sedang dikerumuni oleh penggemarnya yang lain. Aku duduk memegang
kamera, badan terasa bergetar, bisa karena grogi juga karena kedingininan. Satu
persatu mulai meninggalkan meja, Aku langsung berlari menghampirinya menahan
agar tidak dulu menampilkan karya ajaibnya. “Minta waktu sebentar, tolong. Ada
seseorang yang Aku nyaah banget dan
dia mengidolakan akang. Namanya Juwita, Ia pengen ketemu cuman mungkin waktu
belum berkehendak. Tolong sapa dia, dan bantu Aku mengatakan keluh kasih kang,”
ucapku dengan terbata –bata. Grogi ya, gugup alagi. Dengan perhatian puluhan
pasang mata tertuju kepadaku dan idolanya.
Mengerti dengan raut wajah dan
pesan yang Aku sampaikan melalui gerak tubuh Ia langsung menyambut dengan
senyum, “Hai Juwita, dia pantas untukmu, karena mau memperjuangkanmu, pokoknya
dia” ujarnya. Kemudian sang Idolanya mengajak Aku bernyanyi dengan berujar, “Jika
kau lelaki Ayo bernyanyi bersama disini, soal asmara”.
Bukan bermaksud mencari dukungan,
apalagi memelas dikasihani. Berbuat terbaik yang Aku bisa seoptimal mungki,
walaupun beda, out of the box, sedikit nakal, konyol barangkali. Berbekal durasi rekaman itu Aku
kembali, begadang semaleman untuk merangkainya menjadi sebuah video pendek yang
utuh. Tak lupa dengan sebatang bunga disampingku yang sudah tak wangi karena
terguyur air dan juga kepulan asap. Selesai sudah, saat nya tidur. Mengumpulkan
nyawa untuk gencatan senjata.
Suasana malam tersebut membuatku
bangkit, ditambahlagi dengan momentum hari besar bangsa. Aku fikir sebagai
momentum pas untuk merubah keadaan. Dimana Aku yang ingin merdeka, menyampaikan
pendapatku akan suatu hal yang harus diperjuangkan. “Diantara mereka yang
menghuni atau sekedar mampir bermain semuanya Aku anggap sama; teman dan
keluarga, yang juga harus Aku perjuangkan. Aku pun cinta pada mereka. Kecuali dengan kamu, lebih dari itu. Kau pasti tahu apa maksudku?,” ungkapku sambil bertekuk dengan
sedikit berkaca menahan kenyataan yang Aku perjuangkan.
Unjuk ‘rasa’ Ini yang bisa Aku
buat, tidak lebih, jauh dari kata banyak. Berjuang. Hidup yang tak pernah diperjuangkan
tak akan pernah dimenangkan. Begitulah pepatah bijak mengajarkan. Manis-pahit teralu biasa dalam urusan
berjuang dan diperjuangkan. Cinta memang harus diperjuangkan, begitupun sebaliknya. Kata sia – sia, kecewa, itu tak ada dalam teori
atau rumus berjuang. Hanya saja perlu
kesabaran revolusioner untuk mencapainya. Sejarah pasti berulang dan membuktikan
kebenarannya. Itu saja.
Untukmu, Perempuan yang sedang
Belajar