Cerpen: Laila, Jangan Bersedih!
Langit masih gelap, dimeriahkan dengan titik yang telihat gemerlap seolah tak ada jarak antara bintang dan lampu yang berserakan. Bulan? Hanya terdiam diri dan mempertontonkan sabitnya bak senyum melihat seorang teman yang masih murung, meringkuk mengenang masa lampau. “Lihatlah Laila, bulanpun menyeringai nyinyir melihat tingkah lakumu!” kembali Aku mengingatkan.
Tak mempan, semua ucapan yang seraya seperti sabitan pedang Umar pun tak digubrisnya. Lambaian dedauan yang nyangkut dibatang – batang pohon memantul memberikan sayup – sayup keheningan. Aku sedikit memalingkan pandangan, menengadah kedepan. Selentingan bisikan datang, merasuk menjalar ke ubung – ubun, menembus akal. Dimana saja, yang katanya zaman modern, permasalahan yang dihadapi oleh manusia sama saja. Manusia yang dibesarkan dalam bingkai latar belakang historis pendahulunya. Sehingga, tak ada bedanya mau dimanapun kita hidup.
“Apa yang kau ucapkan barusan Pram?” Laila langsung tersentak meronta, beranjak dari mimpi gelapnya. Aku diam sejenak, tak langsung menjawab pertanyaannya. “Cepat jelaskan padaku, Pram, apa maksudmu!” Melihat responku yang dingin sedingin malam, Laila kembali merebahkan sekujur tubuhnya. “Yasudah kalau tak mau,”.Suasana semakin hening, bulan sudah terlihat bundar dan condong ke kanan. Tinggal setumpukan abu dari pembakaran unggun yang menghangatkan. Dengan sedikit tambahan energi dari secangkir kopi Nusantara yang Aku gengam. Menyeruputnya merupakan kewajiban agar lebih tenang dan menghelakan napas panjang.
***
Sarung yang menggantung dipundak Aku selendangkan dileher. Kupluk yang sebelumnya hanya nempel di ujung tanduk kepala, Aku tarik sedikit sehingga menutupi daun telinga. Aku menoleh kebelakang, menarik selimut ala dataran tinggi untuk membelai menutupi badan Laila. “Terima kasih Pram,” ujarnya pelan. Aku sedikit membetulkan posisi duduk, bergeser kebelakang dan menyender pada badan pohon dibelakang layar. “ Mau pikiran khayalanmu itu pergi ke tembok berlin atau tembok raksasa khas negri Tirai Bambu, atau sekalipun ke padang pasirnya gurun Sahara, sama saja. Pada dasarnya merekapun hidup merasakan kegundahan, sulit tidur lantaran beban duka yan mendalam. Terjerat kisah haru biru masa lalu.
“ Siapa didunia ini, atau diantara kita yang tidak pernah mengalami semua itu,” kataku sedikit menekankan. Persoalan dunia bergitu runyam, serunyam layar kaya. Rentetan peristiwa membuat semakin keruh, lebih keruh dari sungai yang dipenuhi kotoran pabrik. Terkadang lebih lucu, bahkan menjijikan. Ya, seperti apa yang mengjangkit dirimu Laila,” ucapku menyindir.
“Setidaknya Aku tidak sedang bersandiwara. Menutupi kesedihan dengan cengengesan. Bersikap seolah rendah hati padahal tirani. Bertindak so tegas, padahal berwatak culas, buas! Menangkap dan mengasingkan mereka yang memberikan kritikan. Aku tidak sepicik Maciafelis itu. Aku hanya sedang patah, ekspektasiku lenyap ke anta berantah!” Ucapnya menimpal.
Timpalan perkataan yang keluar dari rongga mulut Laila, itu hanya sebuah pembenaran. Seolah apa yang ia rasakan dan lakukan saat ini tak salah, wajar.. Raganya ada bumi, entah pikirannya melayang sampai kemana, bisa jadi menyelami samudera kenangan, menapaki jejak – jajak waktu yang sudah lama berlalu “Kau terlalu sibuk dengan urusan masa lalumu, Laila! Hanya gara – gara urusan Percintaan, kau uring – uringan. Jika terus seperti ini ketika ditempa masalah, niscaya kau akan tumbuh jadi generasi yang rapuh!” ucapku makin kesal mendengar omong kosong dari Laila.
Satuhal yang sampai ini masih Aku yakini sepenuh hati, tak ragu sedikitpun. Ketika ada seorang guru memberikan wejangan bahwa mengingat dan mengenang masa lalu, kemudian bersedih atas nestapa dan kegagalan didalamnya adalah tindakan bodoh dan gila. “ Dengan sikap kegaluan yang berlebih mengenang sang pangeran yang telah using, sama halnya kau membunuh semangatmu sendiri, memupuskan tekadmu, dan mengubur dalam – dalam masa depan yang belum terjadi,”
Kegalauan, keterpurukan, kesedihan yang sering menimpa kaum muda-mudi, menjadi focus perhatianku. Gara- gara putus cinta, seolah harapan sirna. Galau tak ada ujung serasa menjadi fatwa yang harus dipatuhi. Kegembiraan dan kebahagiaan seolah tak ada arti. “Aku sendiri sebetulnya ingin keluar dari jeratan masa laluku! Tapi entah, bayang – bayang itu seolah mengikuti kemanapun Aku pergi. Seolah tak ada tempat bagiku untuk bersembunyi di dunia ini, Pram!,”
***
Bagi orang yang berpikir, berkas-berkas masa lalu akan dilipat dan tak pernah dilihat kembali. Cukup ditutup rapat-rapat, lalu disimpan dalam 'ruang' penglupaan, diikat dengan tali yang kuat dalam 'penjara' pengacuhan selamanya. Atau, diletakkan di dalam ruang gelap yang tak tertembuscahaya. Yang demikian, karena masa lalu telah berlalu dan habis. Kesedihantak akan mampu mengembalikannya lagi, keresahan tak akan sanggupmemperbaikinya kembali, kegundahan tidak akan mampu merubahnyamenjadi terang, dan kegalauan tidak akan dapat menghidupkannya kembali, karena ia memang sudah tidak ada.
“Kau kurang bersyukur, mengingkari kodratmu. Seolah – olah kau ingin memasukan kembali bayi kepada rahim ibunya, atau memasukan kembali air mata ke kelopaknya. Yang kau cemaskan sia – sia, seperti menumbuk tepuh atau bisa jadi menggergaji serbuk kayu!”
Sejujurnya, dalam lubuk hati yang paling dalam, Aku mengagumi sosok Laila. Bagiku Ia bak intan permata yang dengan apapun takan pernah kujual, karena Ia tak ternilai. Matanya, takan kutukar walau dengan emas sebesar gunung Jawa Wijaya. Keelokan parasnya, walaupun dengan perak seluas Danau Toba, tak akan kuberikan. Budi – pekertinya yang luhur, walaupun dengan jaminan istana – istana yang menjulang tinggi, dengan untaian mutiara, secuilpun tak akan kuberikan kesempatan orang lain memilikinya. Begitulah Laila, sebetulnya Ia dalam kenikmatan tiada tara dan kesempurnaan tubuh. Hanya saja, Ia tak sadari itu semua. “Sayang kau tak memiliki kekuatan yang bisa mendengar bisikan suara hati manusia,” ujarku dalam relung jiwa.
Lalla mulai beranjak dari tidur panjang mengenang masa lalunya. Dengan tak canggung, Ia merebahkan kepalanya dipundak sebelah kiriku. “Lantas Aku harus gimana Pram, Aku percaya, Kau orang yang bisa menjadi obat penenangku,” ujarnya sedikit merayu.
Aku sedikit memejamkan mata, mencoba berfikir jernih, meminta pertolongan kepada semesta agar Aku bisa membuat Laila kembali riang gembira, menjadi Laila yang Aku kenal. Kemudian muncul pelbagai fikiran, bahwa sangat disayangkan jika hidup hanya disibukan dengan urusan mengenang masa lalu. Tak ubahnya memungut puing – puing bebangunan yang telah lapuk, sementara istana megah yang ada didepan mata terabaikan begitu saja.
“ Kau pergi ke paranormal untuk mengumpulkan semua jenis Jin yang sakti mandraguna dan bersatu dengan kekuatan manusia, kemudian ditugaskan untuk mengembalikan semua hal yang telah berlalu. Aku yakin, tidak akan pernah mampu,” Laila masih bersandar mendengar ceramahanku.
Menurutku, ditengah – tengah suasa malam yang begitu syahdu, dapat ditarik kesimpulan, dengan latar belakang persoalan yang dialami oleh Laila. Karena Orang yang berpikiran jernih tidak akan pernah melihat dan sedikitpun menoleh ke belakang. Pasalnya, angin akan selalu berhembus ke depan, air akan mengalir ke depan, waktu berjalan kedepan, dan segala sesuatu didunia ini bergerak maju ke depan. Maka itu, janganlah pernah melawan sunah kehidupan.
“Laila, satu pintaku. Jangan bersedih, bergembiralah. Kau hidup di hari ini, bukan kemarin, bukan pula besok. Teruslah berjuang memaksimalkan hari yang sedang kau jalani, dan sambut mentari yang siap menuntunmu mengarungi samudera kehidupan. Sebagai penutup masa lalu, dan untuk menyongsong hari, Aku akan bacakansyair Kuno untuk Laila,” ucapku seraya memeluk tubuhnya.
Kutanamkan di dalamnya mutiara, hingga tiba saatnya ia dapat
menyinari tanpa mentari dan berjalan di malam hari tanpa rembulan
Karena kedua matanya ibarat sihir dan keningnya laksana pedang
buatan India
Milik Allah-lah setiap bulu mata, leher dan kulit yang indah mempesona,
“Thanks Pram, Kau pangeran yang selamai ini Aku nanti.”
“Wahai masa lalu yang telah berlalu dan selesai, tenggelamlah seperti mataharimu. Aku tak akan pernah menangisi kepergianmu, dan kamu tidak akan pernah melihatku termenung sedetik pun untuk mengingatmu. Kamu telahmeninggalkan kami semua, pergi dan tak pernah kembali lagi.”