Showing posts with label mojok. Show all posts
Showing posts with label mojok. Show all posts

Cerpen: Laila, Jangan Bersedih!

Fokuscirebon, Cerpen, Mampir Nulis - Terkadang memang benar adanya, patut diamini, ketika petuah sudah berucap. Ungkapan yang muncul bukan bualan apalagi janji busuk ala tokoh Sengkuni yang melegenda.  “Negara mana di dunia ini yang tidak memiliki watak imperialisme? “ begitulah bunyi pepatah asli dari negeri timur. Sampai pada akhirnya, penjajahan bukan lagi dilakukan antar bangsa-negara. Lebih merasuk, sampai pada jiwa raga generasi emasnya. Mereka senantiasa hidup dalam bayang-bayang kegelisahan, kesedihan dan kecemasan. “ Mau sampai kapan jiwamu tercabik, dan dirimu lara dirundung duka cita?” tanyaku geram.

Langit masih gelap, dimeriahkan dengan titik yang telihat gemerlap seolah tak ada jarak antara bintang dan lampu yang berserakan. Bulan? Hanya terdiam diri dan mempertontonkan sabitnya bak senyum melihat seorang teman yang masih murung, meringkuk mengenang masa lampau. “Lihatlah Laila, bulanpun menyeringai nyinyir melihat tingkah lakumu!” kembali Aku mengingatkan.

Tak mempan, semua ucapan yang seraya seperti sabitan pedang Umar pun tak digubrisnya.  Lambaian dedauan yang nyangkut dibatang – batang pohon memantul memberikan sayup – sayup keheningan. Aku sedikit memalingkan pandangan, menengadah kedepan. Selentingan bisikan datang, merasuk menjalar ke ubung – ubun, menembus akal. Dimana saja, yang katanya zaman modern, permasalahan yang dihadapi oleh manusia sama saja. Manusia yang dibesarkan dalam bingkai latar belakang historis pendahulunya. Sehingga, tak ada bedanya mau dimanapun kita hidup.

“Apa yang kau ucapkan barusan Pram?” Laila langsung tersentak meronta, beranjak dari mimpi gelapnya. Aku diam sejenak, tak langsung menjawab pertanyaannya. “Cepat jelaskan padaku, Pram, apa maksudmu!” Melihat responku yang dingin sedingin malam, Laila kembali merebahkan sekujur tubuhnya. “Yasudah kalau tak mau,”.Suasana semakin hening, bulan sudah terlihat bundar dan condong ke kanan. Tinggal setumpukan abu dari pembakaran unggun yang menghangatkan. Dengan sedikit tambahan energi dari secangkir kopi Nusantara yang Aku gengam. Menyeruputnya merupakan kewajiban agar lebih tenang dan menghelakan napas panjang.

***

Sarung yang menggantung dipundak Aku selendangkan dileher. Kupluk yang sebelumnya hanya nempel di ujung tanduk kepala, Aku tarik sedikit sehingga menutupi daun telinga. Aku menoleh kebelakang, menarik selimut ala dataran tinggi untuk membelai menutupi badan Laila. “Terima kasih Pram,” ujarnya pelan. Aku sedikit membetulkan posisi duduk, bergeser kebelakang dan menyender pada badan pohon dibelakang layar. “ Mau pikiran khayalanmu itu pergi ke tembok berlin atau tembok raksasa khas negri Tirai Bambu, atau sekalipun ke padang pasirnya gurun Sahara, sama saja. Pada dasarnya merekapun hidup merasakan kegundahan, sulit tidur lantaran beban duka yan mendalam. Terjerat kisah haru biru masa lalu.

“ Siapa didunia ini, atau diantara kita yang tidak pernah mengalami semua itu,” kataku sedikit menekankan. Persoalan dunia bergitu runyam, serunyam layar kaya. Rentetan peristiwa membuat semakin keruh, lebih keruh dari sungai yang dipenuhi kotoran pabrik. Terkadang lebih lucu, bahkan menjijikan. Ya, seperti apa yang mengjangkit dirimu Laila,” ucapku menyindir.

“Setidaknya Aku tidak sedang bersandiwara. Menutupi kesedihan dengan cengengesan. Bersikap seolah rendah hati padahal tirani. Bertindak so tegas, padahal berwatak culas, buas! Menangkap dan mengasingkan mereka yang memberikan kritikan. Aku tidak sepicik Maciafelis itu.  Aku hanya sedang patah, ekspektasiku lenyap ke anta berantah!” Ucapnya menimpal.

Timpalan perkataan yang keluar dari rongga mulut Laila, itu hanya sebuah pembenaran. Seolah apa yang ia rasakan dan lakukan saat ini tak salah, wajar.. Raganya ada bumi, entah pikirannya melayang sampai kemana, bisa jadi menyelami samudera kenangan, menapaki jejak – jajak waktu yang sudah lama berlalu “Kau terlalu sibuk dengan urusan masa lalumu, Laila! Hanya gara – gara urusan Percintaan, kau uring – uringan. Jika terus seperti ini ketika ditempa masalah, niscaya kau akan tumbuh jadi generasi yang rapuh!” ucapku makin kesal mendengar omong kosong dari Laila.

Satuhal yang sampai ini masih Aku yakini sepenuh hati, tak ragu sedikitpun. Ketika ada seorang guru  memberikan wejangan bahwa mengingat dan mengenang masa lalu, kemudian bersedih atas nestapa dan kegagalan didalamnya adalah tindakan bodoh dan gila. “           Dengan sikap kegaluan yang berlebih mengenang sang pangeran yang telah using, sama halnya kau membunuh semangatmu sendiri, memupuskan tekadmu, dan mengubur dalam – dalam masa depan yang belum terjadi,”

Kegalauan, keterpurukan, kesedihan yang sering menimpa kaum muda-mudi, menjadi focus perhatianku. Gara- gara putus cinta, seolah harapan sirna. Galau tak ada ujung serasa menjadi fatwa yang harus dipatuhi. Kegembiraan dan kebahagiaan seolah tak ada arti. “Aku sendiri sebetulnya ingin keluar dari jeratan masa laluku! Tapi entah, bayang – bayang itu seolah mengikuti kemanapun Aku pergi. Seolah tak ada tempat bagiku untuk bersembunyi di dunia ini, Pram!,”

***

Bagi orang yang berpikir, berkas-berkas masa lalu akan dilipat dan tak pernah dilihat kembali. Cukup ditutup rapat-rapat, lalu disimpan dalam 'ruang' penglupaan, diikat dengan tali yang kuat dalam 'penjara' pengacuhan selamanya. Atau, diletakkan di dalam ruang gelap yang tak tertembuscahaya. Yang demikian, karena masa lalu telah berlalu dan habis. Kesedihantak akan mampu mengembalikannya lagi, keresahan tak akan sanggupmemperbaikinya kembali, kegundahan tidak akan mampu merubahnyamenjadi terang, dan kegalauan tidak akan dapat menghidupkannya kembali, karena ia memang sudah tidak ada.

“Kau kurang bersyukur, mengingkari kodratmu.  Seolah – olah kau ingin memasukan kembali bayi kepada rahim ibunya, atau memasukan kembali air mata ke kelopaknya. Yang kau cemaskan sia – sia, seperti menumbuk tepuh atau bisa jadi menggergaji serbuk kayu!”

Sejujurnya, dalam lubuk hati yang paling dalam, Aku mengagumi sosok Laila. Bagiku Ia bak intan permata yang dengan apapun takan pernah kujual, karena Ia tak ternilai. Matanya, takan kutukar walau dengan emas sebesar gunung Jawa Wijaya. Keelokan parasnya, walaupun dengan perak seluas Danau Toba, tak akan kuberikan. Budi – pekertinya yang luhur, walaupun dengan jaminan istana – istana yang menjulang tinggi, dengan untaian mutiara, secuilpun tak akan kuberikan kesempatan orang lain memilikinya. Begitulah Laila, sebetulnya Ia dalam kenikmatan tiada tara dan kesempurnaan tubuh. Hanya saja, Ia tak sadari itu semua. “Sayang kau tak memiliki kekuatan yang bisa mendengar bisikan suara hati manusia,” ujarku dalam relung jiwa.

Lalla mulai beranjak dari tidur panjang mengenang masa lalunya. Dengan tak canggung, Ia merebahkan kepalanya dipundak sebelah kiriku. “Lantas Aku harus gimana Pram, Aku percaya, Kau orang yang bisa menjadi obat penenangku,” ujarnya sedikit merayu.

Aku sedikit memejamkan mata, mencoba berfikir jernih, meminta pertolongan kepada semesta agar Aku bisa membuat Laila kembali riang gembira, menjadi Laila yang Aku kenal. Kemudian muncul pelbagai fikiran, bahwa  sangat disayangkan jika hidup hanya disibukan dengan urusan mengenang masa lalu. Tak ubahnya  memungut puing – puing bebangunan yang telah lapuk, sementara  istana megah yang ada didepan mata terabaikan begitu saja.

“ Kau pergi ke paranormal untuk mengumpulkan semua jenis Jin yang sakti mandraguna dan bersatu dengan kekuatan manusia, kemudian ditugaskan untuk mengembalikan semua hal yang telah berlalu. Aku yakin, tidak akan pernah mampu,” Laila masih bersandar mendengar ceramahanku.

Menurutku, ditengah – tengah suasa malam yang begitu syahdu, dapat ditarik kesimpulan, dengan latar belakang persoalan yang dialami oleh Laila. Karena Orang yang berpikiran jernih tidak akan pernah melihat dan sedikitpun menoleh ke belakang. Pasalnya, angin akan selalu berhembus ke depan, air akan mengalir ke depan, waktu berjalan kedepan, dan segala sesuatu didunia ini bergerak maju ke depan. Maka itu, janganlah pernah melawan sunah kehidupan.

“Laila, satu pintaku. Jangan bersedih, bergembiralah. Kau hidup di hari ini, bukan kemarin, bukan pula besok. Teruslah berjuang memaksimalkan hari yang sedang kau jalani, dan sambut mentari yang siap menuntunmu mengarungi samudera kehidupan. Sebagai penutup masa lalu, dan untuk menyongsong hari, Aku akan bacakansyair Kuno untuk Laila,” ucapku seraya memeluk tubuhnya.

Kutanamkan di dalamnya mutiara, hingga tiba saatnya ia dapat

menyinari tanpa mentari dan berjalan di malam hari tanpa rembulan

Karena kedua matanya ibarat sihir dan keningnya laksana pedang

buatan India

Milik Allah-lah setiap bulu mata, leher dan kulit yang indah mempesona,

“Thanks Pram, Kau pangeran yang selamai ini Aku nanti.”

 “Wahai masa lalu yang telah berlalu dan selesai, tenggelamlah seperti mataharimu. Aku tak akan pernah menangisi kepergianmu, dan kamu tidak akan pernah melihatku termenung sedetik pun untuk mengingatmu. Kamu telahmeninggalkan kami semua, pergi dan tak pernah kembali lagi.”

Persetan dengan Istilah Kritik yang Membangun (Konstruktif)



Persetan dengan Istilah Kritik yang Membangun (Konstruktif)
Fokuscirebon, Mojok, Opini - Pernah mendengar istilah “Kritik Konstrukstif”, atau dalam bahasa ala Orba “Kritik yang Membangun”. Istilah ini, belakangan mulai ramai kembali menjadi perbincangan khalayak. Terutama pada saat belakangan ini muncul berbagai polemik yang mengecam keras kinerja Pemerintah. Entah di daerah, regional sampai Nasional sekalipun. Telinga penulis, sudah bosan – sangking seringnya – mendengarnya; mulai dari sekelas Pejabat Publik, Walikota, Ketua DPRD, sampai kepada tokoh – tokoh dalam ruang lingkup organisasi kepemudaan, kemasyarakatan, hingga dunia aktivis mahasiswa. Disinisalah satu warisan Orba berhasil menancapkan hingga ke sendi kehiudpan, menjadi sebuaah kebiasaan, dan diamini sebagai kebudayaan.

Baiklah mari kita bahas, apakah betul kritik harus membangun? Pada mulanya, penulis pribadi memang menjadi salah satu pejuang dalam mempertahankan sekuat tenaga argumentasi bahwa “dimana – mana yang namanya kritik ya harus konstrukstif”. Sehingga dalam menyikapi berbagai persoalan yang padahal terlihat dengan jelas oleh kelopak mata, tidak langsung mengecam dan mengkritik keras. Penulis disibukan dengan mencari literasi, diskusi sana – sini, kajian berlembar – lembar. Karena takut mendapat serangan balik, “Mana solusi yang Anda tawarkan. Jangan hanya bisanya mengkritik. Kritik harus dengan solusi, konstruktif,”

Istilah tersebut yang pada akhirnya penulis sadari secara tidak langsung terkadang membuat kritikan yang semula ingin dilakukan, mandek ditegah jalan, sampai akhirnya tak jadi dan hanya dipendam dalam hati, jadi sebuah unek – unek. Menyadari hal tersebut, akhirnya penulis mencoba mencari beberapa refereni soal awal mula istilah itu muncul. Kemudian pengertian masing – masing kata, dan kapan istilah tersebut biasa dikeluarkan, serta oleh siapa. Istilah ini oleh ponulis probadi dikuliti sampai keakar – akarnya, karena berbahaya kalau tidak, fasisme dan feodalisme akan tetap bertengger permanen dalam akal dan sanubari anak negri.

Pertama, “Kritik Harus Membangun” terdiri dari dua kata yaitu “Kritik” dan “Membangun”. Dilihat dari KBBI pengertian masing – masing adalah sebagai berikut; Kritik adalah sebuah kerja kritis untuk melihat sebuah persoalan secara jeli.  Bukan hanya kebaikannya tapi juga kejelekannya.  Bukan hanya pada saat ini, tapi juga jauh melampaui waktu kini.  Sehingga kritik lebih menjadi jembatan untuk menuju penyelesaian persoalan.  Dan sikap krtis dari kritik jelas akan menyoroti persoalan dengan tajam sehingga akan membuat kuping ‘terasa panas’. 

Sedangkan "membangun" lebih dekat dengan sesuatu yang positif.  Sesuatu yang membanggakan. Jadi dari pengertiannya saja sudah muter balik, bertentangan. Apabila dilihat dari ilmu mantiq atau logika ada sebuah istilah yang disebut “Negasi” atau pertentangan. Kata diawal bertentangan (kontraproduktif) dengan kata selanjutnya, kemudian muncul pertentangan yang pengertiannya bertolak belakang maka dapat disimpulkan bahwa kata tersebut tidak logis (Baca: Tidak Masuk Akal). Kesimpulannya, TIDAK ADA istilah kritik yang membangun!

Becermin Pada Sejarah

Persetan dengan Istilah Kritik yang Membangun (Konstruktif)

Bagi teman – teman aktivis ataupun siapun itu yang sering membaca sejarah, terutama soal pergerakan, tentu tidak asing dengan tokoh – tokohnya. Semisal dalam era sebelum kemerdekaan Djohan Sahroejah (Baca: Pendiri Antara) mengecam keras praktik kooperatif para pemimpin pergerakan Indonesia dengan kolonial. Dalam tulisannya tersebut, tidak ada sebait kata yang isinya soal “membangun” atau “solusi” Akibat tulisannya tersebut, Djohan dianggap menghasut, dan meresahkan, sehingga mendekam di penjara Cimahi, Bandung. 

Contoh selanjutnya, yaitu tokoh pergerakan mahasiswa, aktivis hari ini pasti akrab dengan nama “Soe Hok Gie”, yang menjadi salah satu tokoh pelopor pergerakan mahasiswa era Orde Lama dan Orde Baru. Pada saat tapuk kepemimpinan Soekarno sudah diambang batas, melenceng jauh dari garis perjuangan Indonesia Gie kemudian Menulis. “Sokerano muda jauh berbeda dengan Soekarno Lama. Kelakukannya sudah seperti raja – raja Jawa, dengan selir – selirnya yang terlihat anggun,”. Tidak hanya itu, kemudian Gie mengecam pula ketika melihat seorang pengemis memakan sampah,  jaraknya hanya beberapa meter dari istana kepresidenan. Dengan tulisan – tulisan yang terkenal tajam, menohok, mengkuliti, sarat unsur subjektifitas, dianggap berbahaya dengan nalar kritisnya tersebut. Gie pun terkenal dilingkungan raja – raja Jawa beserta ‘babu’ yang dipeliharanya.

Dari sini kita bisa lihat, manusia – manusia yang terlahir dengan semangat zaman pada saat itu membawanya mengalir terus dengan kecaman, kritikan. Pada akhirnya, bisa membawa bangsa ini kearah yang lebih baik. Nalar kritis tersebut lahir secara alami, dan keberanian untuk mengkritik menguat oleh kaadan yang memaksa mau tidak mau harus mengkritik, agar ada perubahan. Karena tidak akan ada perubahan, tanpa adanya kritikan yang menghantam.

Membangun dengan Kritik


Daniel Dakhidae, seorang Ilmuan yang pernah dimiliki oleh Indonesia merupakan salah seorang tokoh yang mengecam dengan keras praktik rezim Soeharto beserta keroco – keroconya, sampai pada tingtkat RT/RW,  menanamkan – lebih tepatynya mengkampanyekan – slogan yang menjadi salah satu pilar orde baru untuk menghalau serangan lawan politiknya yaitu dengan istilah “Keritik Membangun” Ia pernah mengatakan dan menjadi viral dikalangan yang tersadarkan kurang lebih sebagai berikut "Kritik membangun tak pernah ada.  Karena kritik memang tak mungkin dengan bumbu pujian.  Kritik dengan pujian akan menjadi bukan kritik.  Kritik harus tajam menghujam.  Menguliti apa yang tersurat dan menohok yang tersirat.  Menjelujur hingga ke jantung persoalan”. Masih menurut beliau, seharusnya bangsa ini butuh "membangun dengan krtik" bukan dengan "kritik yang membangun" sebagaimana selama itu dilakukan. 

  Apa bedanya? Dalam "membangun dengan kritik" sangat mengandaikan akan keaktifan orang yang dikritik. Orang yang dikritik, baik secara personal maupun dalam kerangka jabatan yang disandangnya, bukanlah objek yang pasif dan harus mempertahankan diri.  Orang yang dikritik diposisikan menjadi subjek yang siap memperbaiki diri dengan kritik apa pun yang siap diterima sebagai konsekuensi sebagai sebuah jabatan publik.  Sehingga setiap kritik diterima dengan lapang dada dan untuk selanjutnya memperbaiki apa pun yang dilakukannya pada saat itu. Jika "membangun dengan kritik" yang dilakukan bangsa ini, maka bangsa ini akan menjadi bangsa yang besar. 

 Karena setiap kritik, yang pada dasarnya sering dilandasi oleh perbedaan (baik dalam ideologi atau sekedar pendekatan), bisa memperkaya setiap langkah yang sedang atau akan dilakukan oleh bangsa ini.  Sikap frigid terhadap kritik hanya akan menjadikan bangsa ini kerdil dan tak dapat menghindar dari kemungkinan paling buruk, juga tak dapat memperkaya sudut pandang dalam menghadapi setiap persoalan yang datang menghampiri. 

Saat ini, di era yang katanya reformasi dan Demokrasi sebagai pilar utama dimana kerewelan – kerewelan adalah jalan agar setiap langkah terjamin baik bagi semua elemen masyarakat, bukan hanya mementingan segelintir ‘gorila’ dan ‘kingkong’ yang memang menempati posisi sebagai pengusaha dan penguasa. Salah satu bukti kegagalan reformasi jika saat ini kita masih sering mendengar istilah kritik membangun tersebut, dimana praktiknya kita masih bisa melihat, bagaimana para pejabat publik masih hidup bagai raja yang selalu menganggap dirinya wakil Tuhan di muka bumi dan menjadi sebuah keharamjadahan kalau ada rakyat kecil mengkritik kebijakannya.  Pejabat yang jelas-jelas masih terkungkung dalam pola kehidupan publik orde baru. Lagi – lagi, sebuah kemuduran zaman. 

Sangat disayangkan jika istilah ini kemudian masih tertanam kuat dan menjadi sebuah keyakinan yang dianut oleh para generasi penerus bangsa, intelektual muda tonggak peradaban bangsa, yang tidak lain adalah: MAHASISWA! Semoga kalian yang masih menghamba pada istilah tersebut tercerahkan dan tersadarkan, sesegeralah bertobat. Dan mari kita ramai – ramai memberikan kritik!

Notes: Diambil dari berbagai sumber!

Oleh Al-Aziz
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ekonomi, Akuntansi, Tingkat dewa! 
Sumber: Demosmagz.com 



Perempuan yang Sedang Belajar; Mencinta!

Perempuan yang Sedang Belajar; Mencinta!
Fokuscirebon - Mojok, Mampir Nulis, CerpenKarena pahit akan selalu ada, selagi masih berlakunya ejaan yang diakui dengan tulisan m-a-n-i-s. Tak perlu takut mengejanya, meskipun terpatah – patah. Tak perlu ragu untuk bangkit, meskipun tertatih. Larut dalam pusaran keintiman yang telah menjadi sebuah kaleidoskop yang terbingkai permanen memang akan terus membuntuti, kemanapun raga berlari ataupun bersembunyi. Namun, pemaksaan itu penting. Terlalu sulit untuk menemukan titik terang, ketika tidak memaksakan diri untuk beranjak dari kegelapan. Dengan mengenalmu, keberanian itu muncul mendadak. Bak nyanyian jiwa yang berujar dalam dada; inilah saatnya!


Sudah terlalu lama harum mawar tak lagi semerbak. Wewangian apapun bentuknya, tak tercium aromanya. Organ tubuh serasa tak berfungsi sempurna, tiba – tiba macet begitu saja. Hanya satu yang masih berjalan alami, kesedihan yang mengalir bermuara pada satu tujuan; tetesan kekecewaan! Kesekian kalinya, Aku kembali menjadi sosok yang menyeamkan! Menjadi seorang predator, meneguk bermacam minuman, menghisap, memangsa. Semua itu menjadi cirri khas yang terpatri, seolah seperti kepribadian.

Lama Aku menjalani detik sampai ke menit, berlanjut sampai hari, terbangun telah berganti bulan, hingga terlalu larut tak sadar telah berganti kalender. Seperti sebuah keajaiban, bagiku. Seseorang yang Aku anggap sebagai saudara seperjuangan. Membuatku sontak terperenjat terbangun, dengan langkah tergesa – gesa meraup segayung untuk membasuh muka agar  terlihat segar. Lebih dari itu, seperti kesurupan jin dari timur tengah seraya berkata, “Jikalau Semesta memberikan kesempatan, niscaya Aku akan melindunginya”

Dalam urusan kasih, Aku biasa terbuka, dan tak canggung untuk menceritakan. Mulai dari yang mandeg, lancar jaya seperti bus malam, sampai diselip dari kiri ditikungan. Tidak untuk yang satu ini, bukan menjadi konsumsi publik bak figuran papan triplek, bukan juga seperti santapan berjamaah ajang curhat mulai dari layar lebar sampai layar mini. Ini murni Aku privatisasi, menjadi kepentingan pribadi. Menjadi sebuah rahasia perusahaan. Kalau negara, tak perlu ada rahasia – rahasiaan, semuanya harus akuntabel dan transparan.
***
Perempuan yang Sedang Belajar; Mencinta!

Bukan tanpa sebab, terlalu beresiko rasanya ketika seseorang yang menjadi pujaan dalam lingkungan dan keadan yang serba sama, tak jauh berbeda, tekadang juga berlebih menjadi seorang kerabat keluarga. Ditambah lagi bukan cuman Aku satu – satunya manusia yang tertarik dengan sumber daya dan potensi yang ada. Tak sedikit yang kemuidan beropini, “Sangat disayangkan jika jatuh ke tangan yang salah dan tak bertanggung jawab,” .  Citra yang Ada terhadapku, menjadi tantangan. Terlanjur nyemplung, naïf rasanya jika tidak sampai becek sekujur badan. Karena Aku selalu memiliki keyakinan; semua lelaki itu sama dalam urusan jamaah biologiskiyah al cintakiyah.

Jangan salah fikir, Aku bukan terjebak oleh kisah – kisah murahan yang sering kita dengar  dan saksikan bersama bahwa lokasi tak jarang menimbulkan sebuah benih kasih. Sama sekali bukan itu! Aku sengaja menjerusmuskan diri. Mengikuti naluri, berjalan alami, tanpa tambahan pestisida ataupun bumbu kimia. Namun memang, aksi nyata sama sekali belum pernah dilewati. Masih sebatas basa – basi ala sales yang menawarkan dan menonjolkan kelebihan, dan Aku yakin itu membosankan, tak sedikitpun membuatnya luluh lantah dengan seseorang yang tak berkarisma. Setidaknya tidak seperti praktik lain, Aku tidak menjatuhkan lawan saing, itu saja bedanya!

Berbagai pergulatan batin dan fikiran tak dipungkiri menghampiri. Entah tekanan dari luar maupun dalam diri sendiri bak meriam dalam perang.  Mendengar banyak yang sudah melakukan ekspansi, serta berbagai gerakan intelejen yang dilakukan oleh pasukan sekutu dan koalisinya.  Sementara Aku, jangankan dukungan materil, moril pun tak ada. Jelas jika dianalisis menggunakan teori ekononomi S-W-O-T itu, entah kekuatan, peluang, kelebihan, Aku tak punya modal itu. Mungkin hanya satu yang menjadi modal utama; suara hati yang mendorong untuk melakukan jihad memperjuangkan sesuatu yang dicintai sepenuh hati.

Tekad yang lebih dekat dengan kata nekat akhirnya Aku menceritakan apa yang Aku yakini kepada beberapa teman. “ Aku putuskan untuk berani bertarung, apapun risikonya. Jika ia terjadi, jagat raya berati masih memberi kesempatan dan amanah kepadaku untuk berubah,”  Keluarlah kata – kata itu dari mulutku yang bau, baru bangun tidur. Sebut saja temanku yang juga pernah mengalami nasib sama itu dengan inisial Uya. “ Serius? Jangan, lingkungan ini memiliki fatwa dilarang menjalin hubungan lawan jenis. Eh maksudku, dalam satu lingkaran,” ujarnya dengan muka sok serius yang membuatnya semakin memprihatinkan.

Memang itu sudah menjadi salah satu perhitunganku. Namun apalah daya, Aku cuma manusia biasa yang sama sekali tidak berusaha untuk menjadi seseorang yang sempurna, apalagi menjadi ekspektasi semua kaum hawa. Tugasku hanya satu, memperjuangkan. “ Aku udah mengingatkan, jangan nekat. Dia udah tertarik sama yang lain dan tinggal satu langkah lagi menuju jenjang ikatan,”  kembali temanku mengingatkan dengan mulutnya yang sedikit mengeluarkan busa disela – sela bibirnya.

Informasi mengenai Aku mengincar target menyebar keseluruh jagat dunia persilatan, bak sayambara, masuknya Aku turut campur  langsung diumumkan.  Mendengar cerita dari para tim suksesnya berbagai gerakanpun semakin masif. Manuver – manuver dilakukan, termasuk gerakan mempengaruhi jangan sampai Aku yang memperoleh permata itu. “ Kamu yakin? Bukan bermaksud melarang, itu hakmu.” Kali ini temanku terdengar lemas mengingatkan.
***
Perempuan yang Sedang Belajar; Mencinta!

Suatu malam ditengah guyuran hujan yang menambah kesenyuian, dipojok ruangan biru dengan tembok tripleknya yang terlihat kusam namun tetap menggairahkan dengan kata – kata semboyan perjuangan. Sedikit demi sedikit Aku kembali mengurai kebelakang, Apa benar atau tidak yang akan Aku perbuat kedepan. Aku kembali berfikir, merenung, berdamai dengan hati. Sampai kemudian bisikan itu datang, tidak ada salah atau kalah dalam urusan berjuang. Aksi nyata walaupun hanya secuil akan berkesan ketimbang ribuan kata – kata yang hilang terbawa angin dan lapuk termakan zaman.

Sontak kemudian Aku ingat dengan salah satu Idolanya yang kebetulan sedang mampir di sebuah restoran. Bergegas Aku mengambil kamera, tarik nafas dalam – dalam untuk mengumpulkan keberanian. Kuda besi Aku tunggangi menerobos celah – celah hujan sampai lampu merah. Si Idola itu sedang dikerumuni oleh penggemarnya yang lain. Aku duduk memegang kamera, badan terasa bergetar, bisa karena grogi juga karena kedingininan. Satu persatu mulai meninggalkan meja, Aku langsung berlari menghampirinya menahan agar tidak dulu menampilkan karya ajaibnya. “Minta waktu sebentar, tolong. Ada seseorang yang Aku nyaah banget dan dia mengidolakan akang. Namanya Juwita, Ia pengen ketemu cuman mungkin waktu belum berkehendak. Tolong sapa dia, dan bantu Aku mengatakan keluh kasih kang,” ucapku dengan terbata –bata. Grogi ya, gugup alagi. Dengan perhatian puluhan pasang mata tertuju kepadaku dan idolanya.

Mengerti dengan raut wajah dan pesan yang Aku sampaikan melalui gerak tubuh Ia langsung menyambut dengan senyum, “Hai Juwita, dia pantas untukmu, karena mau memperjuangkanmu, pokoknya dia” ujarnya. Kemudian sang Idolanya mengajak Aku bernyanyi dengan berujar, “Jika kau lelaki Ayo bernyanyi bersama disini, soal asmara”.

Bukan bermaksud mencari dukungan, apalagi memelas dikasihani.  Berbuat  terbaik yang Aku bisa seoptimal mungki, walaupun beda, out of the box, sedikit nakal, konyol barangkali. Berbekal durasi rekaman itu Aku kembali, begadang semaleman untuk merangkainya menjadi sebuah video pendek yang utuh. Tak lupa dengan sebatang bunga disampingku yang sudah tak wangi karena terguyur air dan juga kepulan asap. Selesai sudah, saat nya tidur. Mengumpulkan nyawa untuk gencatan senjata.

Suasana malam tersebut membuatku bangkit, ditambahlagi dengan momentum hari besar bangsa. Aku fikir sebagai momentum pas untuk merubah keadaan. Dimana Aku yang ingin merdeka, menyampaikan pendapatku akan suatu hal yang harus diperjuangkan. “Diantara mereka yang menghuni atau sekedar mampir bermain semuanya Aku anggap sama; teman dan keluarga, yang juga harus Aku perjuangkan. Aku pun cinta pada mereka.  Kecuali dengan kamu, lebih dari itu. Kau pasti tahu apa maksudku?,”  ungkapku sambil bertekuk dengan sedikit berkaca menahan kenyataan yang Aku perjuangkan.  

Unjuk ‘rasa’ Ini yang bisa Aku buat, tidak lebih, jauh dari kata banyak.  Berjuang. Hidup yang tak pernah diperjuangkan tak akan pernah dimenangkan. Begitulah pepatah bijak mengajarkan.  Manis-pahit teralu biasa dalam urusan berjuang dan diperjuangkan. Cinta memang harus diperjuangkan, begitupun sebaliknya. Kata sia – sia, kecewa, itu tak ada dalam teori atau rumus berjuang.  Hanya saja perlu kesabaran revolusioner untuk mencapainya.   Sejarah pasti berulang dan membuktikan kebenarannya. Itu saja.

Untukmu, Perempuan yang sedang Belajar  

(Al- Aziz, Cirebon, 20 Desember 2016)

Pengalaman menyusuri daerah Perbatasan, Senyuman di Balik Keterbelakangan!


Pengalaman menyusuri daerah Perbatasan, Senyuman di Balik Keterbelakangan!
Fokuscirebon.com, cerpen - Waktu itu, sekitar pukul 04 Pagi WIB, Aku menuruni anak tangga dari sebuah petak kamar tempat seorang Kerabat, Jakarta Selatan kalau tak salah.
Keluar dari pintu gerbang menuju jalan besar untuk menunggu Ojek yang telah Aku pesan sebelumnya, dengan jalan yang masih tergopoh, mungkin karena masih ngantuk, atau sebuah firasat buruk.
Sang penolongpun sudah tiba, tak banyak omong aku langsung menunggangi kuda dan menuju ke salah satu Wisma di Jakarta, tempat yang akan Aku kunjungi selanjutnya. Waktu masih petang Aku rasa, matahari belum terlihat oleh kelopak mata. Jalanan sudah ramai, lalu lalang kendaraan terlihat saling berkejaran,
tak peduli samping kiri-kanan, tak peduli depan atau belakang. Apa memang seperti ini kehidupan di sebuah Kota Megapolitan. Tak terasa, Aku sudah sampai di tempat tujuan. Beberapa teman sudah mulai berdatangan, dan kami pun saling bersalaman dengan sedikit perbincangan - perbincangan sambil menungu kedatangan teman lainnya.
Raut muka riang gembira terlihat dari teman - temanku, seolah - olah tidak sabar ingin segera sampai ke lokasi. Owh Ia, kami dikumpulkan sebagai 20 Besar Finalis lomba menulis Esai yang diselenggarakan oleh SKK MIGAS.

Dan sekarang ini Agendanya kita akan melakukan kunjungan ke Industri Hulu Migas, tepatnya wilayah operasi dan pemberdayaaan Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ).
Teman - teman dari berbagai kampus, favorit dan unggulan di Indonesia, sudah berkumpul semua. Hanya saja, cuman Aku yang berasal dari kampus basa, di perbatasan Jawa Barat, tepatnya di Cirebon. Minder? Tak ada dalam kamusku, apalagi gengsi. Pendidikan pada dasarnya sama saja, kita yang menentukan pada akhirnya. Langsung saja, kita memasuki semacam Elf, beserta mas, akang dan teteh panitia yang ramah dan tidak sombong, Aku suka.

Mobil Elf, mulai bergerak menyusuri jalan - jalan tol dalam Kota Jakarta, menuju arah Karawang. Seperti biasa, pemandangan di Kota setiap pagi, hamparan kendaraan yang terbentang saling berdesakan menunggu gilirtan keluar dari kemacetan, serta gedung - gedung pencakar langit yang seakan bergandengan tangan, begitu dekat sekali. dan Dibawah gedung tersebut, bersarang rumah - rumah yang hemmm, lanjutkan sendiri cerita ini.

Aku fikir, jarak dari Jakarta ke Karawang tidaklah jauh, paling lama kalau terjebak macet pun sekitar 2 jam. Ternyata Aku salah, ketika nanya ke Pak Supir dan Teteh Panitia jarak tempuh ke Lokasi tempat beropasi PHE ONWJ sekitar 4 jam. Aku disitu sontak langsung terkejut, ko Bisa sampai sebegitu lama, padahal yang apabila ditarik garis lurus hanya 40 KM dari pusat ibu Kota menuju lokasi, kata Teteh Panitia yang lainnya. Hemm, jarak yang ditempuh berasa Aku mau balik lagi ke Cirebon. Karena jarak yang
ditempuh cukup lama, sedikit demi sedikit Aku mulai terhipnotis oleh jalan tol yang membosankan itu, dan akhirnya lambat laun aku tertidur. Teman - temanku yang satu mobilpun sama, pulas. Kecuali Pak Sopir yang masih duduk tegak. Aku tak tahu, kejadian apa saja yang terlewati saat Aku tidur, hanya saja Aku dan teman - teman lainnya mulai terbangun karena goyangan mobil makin lama makin asyik. Sangking Asyiknya sampai terpontang panting kepala ke kanan dan kiri. Kenapa bisa demikian? Ya tidak lain karena memang akses jalan transportasi menuju lokasi sangat menghawatirkan.

Jalan bebatuan, ditambah lumpur yang terendam air hujan, jalan off road banget pokoknya.
Aku tak terbayangkan sebelumnya, logika dan nalar sehatku tidak sampai. Bayangkan saja guys, daerah yang letaknya tidak jauh dari Ibu Kota tempat para Pejabat yang gagah, dan mungkin enggan ke tempat Ini, takut sepatu pantopel dan jaz kebanggannya kotor terkena lumpur pedesaan. Sudah 71 tahun Indonesia merdeka, dan perusahaan MIGAS (asing sebelum Pertamina) puluhan tahun bercokol dan beroparasi di daerah ini, akses jalan baru di bangun tahun ini, ya TAHUN INI! Ngapain aja? Desa tempat mereka merauk pundi - pundi keuntungan sampai tidak terawat, Pemerintah juga tak terlihat!
Pengalaman menyusuri daerah Perbatasan, Senyuman di Balik Keterbelakangan!

Berhubung sedang ada perbaikan jalan, Aku beserta rombongan lainnya tidak bisa melintasi agar sampai ke Loksi. Hanya ada satu alternatif, yaitu jalur Air, sungai tepatnya. Aku turun lebih dahulu dari mobil, teman - teman yang lain masih asik didalam mobil menikmati AC. Karena memang diluar panas, hemm lagian mana ada daerah pesisi yang sejuk! Sambil menunggu perahu dan perlengkapan keamanan untuk melintas, Aku memesan Es untuk menghilangkan dahaga, sekaligus mungking mendinginkan hati dan otakku yang mendadak panas melihat keadaan sekitar daerah ini. Dengan pelayanan ramah, dan sentuhan tangannya
yang sudah terlihat keriput seorang nenek memberikan ES yang Aku pesan. Sambil menikmati ES dan sebatang tembakau Aku ngobrol bersama para supir dan kaka panitia. Bagiku, tembakau dan kopi adalah media komunikasi. Suasana perbincangan akan semakin terasa aklrab. Sambil memperhatikan Nenek pemilik Warung Gubuk ini Aku bertanya, "Nek, Ini Jalan diperbaiki dari kapan? Dan sejak kapan terahir ada jalan dibangun seperti ini?" Sambi mata menatap ke atas, artinya Nenek sedang mengingat - ngingat lalu dengan lembut menjawab. " Tidak tahu Mas, Lupa. Tahunya, ini baru dibangun lagi jalannya," Entah karena faktor
usia, atau karena memang sudah begitu lama jadi Nenek ini tidak Ingat lagi. Namun, mendengar pertanyaanku, seorang panita ikut nimbrung dan menjawab, " Kami baru bangun Jalan Ini, bekerja sama dengan Pemda setempat," ujarnya.
Sebetulnya Aku masih ingin berbincang panjang lebar dengan Nenek ini dan warga lainnya. Sayangnya, perahu dan perlengkapan lain sudah tiba. Dan teman- temanku yang lainnya mulai turun dari mobil. Dengan bergesa - gesa, untuk mendapatkan perlengkapan. Hemm, takut tidak kebagian kayaknya. Perlengkapan seperti helm dan jaket pelampung sudah Aku pakai, kemudian ada sedikit arahan untuk safety prosedur. Aku mendengarkan, teman - temanku juga sama. Hikmat sekali kelihatannya. Selai arahan, Aku mulai menaiki perahu kayu warga sekitar, teman - temanku juga menaiki perahu, tentunya berbeda - beda, mengingat kapasitas daya tampung

perahu. Kebetulan sekali, Aku satu perahu dengan Kordinator Pemberdayaan masyarakat dari Pertamina. Dengan sedikit mendekatkan diri, karena tidak terdengar oleh suara mesin disel perahu, Aku dan teman lainnya mulai membuka obrolan. Berbagai pertanyaan dilontarkan teman - teman, mulai dari akses jalan, air, sanitasi, faskes dll. Yang intinya, semuanya masih sangat tertinggal dan terbelakang, titik!
Sungai terlihat lebar dan dalam ini sedikit menghibur mata, disamping kiri tanaman - tanaman bakau berhamparan, bisa dibilang hutan bakau. Disebelah kanan, terlihat anak - anak, pemuda, dan orang tua yang melihat perahu kami sambil tersenyum melambaikan tangannya. Luar biasa, serasa jadi bahan perhatian publik sekitar. Perahu kami tidak lepas dari tatapan mata para penduduk sekitar. Kemudian Bapak Kordinator ini mengatakan, "Jangan kaget, warga disini memang demikian. Jangankan perahu, melihat mobil juga udah kayak ngelihat harta karun. Benar - benar terisolir, sinyal ponsel pun hanya kartu tertentu. Tak terasa sudah sejam lebih kami mengarungi sungai yang menjadi akses tyransportasi warga ini,
dan akhirnya sampai di Desa Sedari, daerah paling ujung Kabupaten Karawang. Ada sekitar 4000 orang dan 100 lebih KK yang berada di Desa Sedari ini, dengan luas Desa sampai ribuan hektar. Mayoritas warga berperkerjaan sebagai petani tambak, nelayan sebagian, yang itu semua dijual ke tengkulak - tengkulak yang sudah siap menunggu. Karena memang tidak ada Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di Desa Sedari ini. Setelah turun dari perahu, jalan disini pun sama terlihat becek. Meamng terlihat seperti terkena pasang (rob) atau hujan. Kemudian, kami diajak oleh Panitia mengunjungi salah satu tempat pemberdayaan masyarakat yang dikelola oleh Pertamina. Sejak 2009 Pertamina mengakuisi blok ONWJ ini. Produksinya pun meningkat dari sebelumnya,
salah satu prestasi, Pertamina kembali melakukan nasionalisasi Aset SDA Indonesia. Dan pada Tahun 2013 kalau tidak salah, Aku lupa, mulai dibangun istalasi air bersih (mineral) program CSR dari PHE ONWJ. Karena memang Air di Desa Ini Asin, dan tidak layak untuk dikonsumsi. Air payau disini diolah menggunakan alat yang kemudian menjadi AIR MINERAL. Tempat isi ulang Air ini menjadi satu - satunya sumber air bersih yang ada di Desa Sedari.
Mnejadi tumpuan masyarakat untuk makan, minum, cuci hingga mandi.
Informasi yang membuat merinding, dan memilukan lagi yaitu selain soal akses jalan tadi. Akses terhadap Air layak konsumsi juga baru bisa dinikmati oleh masyarakat beberapa tahun kebelakang. Yang sebelumnya, selama berpuluh - puluh tahun masyarakat mengandalkan Air hujan dengan membuat penampungan untuk kebutuhan Airnya. Digunakan untuk minum, mandi dll. Tidak sedikitpun memikikran kesehatan, bagi masyarakat yang penting bisa mendapatkan Air. Bahkan sampai memburu Air Hujan. Jadi kalau di desa sebelah hujan, masyarakat membawa drigen untuk menampungnya. Istimewa bukan perjuangan masyarakat disini?
Padahal disebelahnya berdiri fasilitas pengeboran minyak dan gas bumi. Dilautnyapun terlihat ada fasilitas sama. Kita tahu sendiri, jumlah keuntungan yang diboyong perusahaan migas (asing) berapa selama berpuluh - puluh tahun beroprasi di blok ini? Dan ditinggalkan kembali ke negeri Asalnya dengan menyisakan ketimpangan sosial, ekonomi dan budaya. Berbeda setelah di pegang kendali oleh Pertamina. Yang secara psikologis sebagai orang Indonesia pasti setidaknya bakal terharu melihat kondisi warga sekitar sebagai seorang manusia. Kpedulian itu kemudian muncul dan membuat beberapa program CSR berbasis pemberdayaan dan perbaikan infrastruktur. Seperti tadik yang diceritakan, instalasi air bersih, jalan, BUMDES, sampai Jembatan Baru yang sangat dirindukan
oleh warga. Karena tadinya jembatan tersebut hanya dari susunan bambu selama berpuluh tahun, hanya bisa dilewati motor.
Soal akses kesehatan pun juga sama, tidak kalah mengagetkan dengan cerita tadi. Angka kematian bayi sangat tinggi, karena mengandalkan dukun bayi. Dan bidan baru ada sekarang - sekarang ini, tentunya yang juga memiliki jiwa sosial tinggi karena mau didempatkan di daerah pelosok, walupun dijawa, belum di Papua. Sanitasi juga masih buruk, walaupun sudah dibangun WC Umum tetap saja susah. Perlu waktu untuk merubah itu, karena memang sudah jadi kebiasaan,warga buang air besar dan kecil disungai, soal kenyamanan katanya.
Puskesma pembantu juga baru ada ada, sebelumnya warga perlu menempuh jarak puluhan kilo untuk ke Puskesmas. Dengan menggunakan perahu itu juga. Ditambah lagi soal rob dan pasang, sampai memasuki rumah - rumah warga. Menmbah sederet cerita haru selanjutnya, yang memang menjadi PR bagi tim pemberdayaan dari PHE ONWJ.

Pengalaman menyusuri daerah Perbatasan, Senyuman di Balik Keterbelakangan!
Setelah diajak melihat - lihat kondisi desa, kemudian kami diajak menuju rumah Pak Lurah, atau Kepala Desa Sedari. Dengan melewati perkampungan warga, anak - anak menghampiri sambil berjabat tangan, ibu - ibunya tersipu ramah. Tibalah kami di rumah Kepala Desa tadi, yang katanya akan dijamu makan siang. Sesampainya di rumah Kades, sedikit terkejut juga Aku melihat rumah pak Kuwu. Warna cetnya yang begitu ngejreng, luas rumah dan perabotan dalamnya terlihat kontras dengan rumah - rumah yang ada di sekitarnya.
Rumah bilik, setengah bilik, setengah bata, ada yang belum jadi, yang reot juga banyak. Malum, namanya juga kepala Desa, tak Aneh kalau beda sendiri. Setelah usai makan di rumah Kuwu, kami melanjutkan Sholat Duhur dan kemudian menuju wilayah operasi PHE ONWJ.

Disini kami kembali mendapatkan berbagai materi, soal mitos Indonesia Kaya Migas. Soal investasi migas yang harus digenjot. Soal produksi migas. Kesemuany menambah wawasan kami tentunya. Dan pematerinya langsung oleh manajer PHE ONWJ, kesempatan menarik bisa bertemu.
Setelah itu kami semua berbondong - bondong menuju lahan untuk melakukan penanaman pohon bakau. Yang tujuannya tak lain dan tak bukan untuk mengatasi abrasi, rob dan pasang. Dengan harapan agar pohon ini bisa tumbuh kembang maksimal, dan bisa melindungi warga - warga sekitar. Program menarik, setiap karyawan pun diwajibkan menysisihkan gajihnya utuk membeli bakau dan ditanam langsung. Aspek lingkungan dan keberlanjutan jangka panjang benar - benar diperhitungkan.
Kegiatan kami hari ini selasi dengan mengunjungi Desa Sedari dan ditutup dengan penanman tadi. Kemudian melanjutkan perjalanan ke Karawang untuk tidur di Penginapan.

Sebetulnya malu Aku menceritakan ini, setelah Aku mengnjungi daerah yang benar tertinggal di Jawa, bukan di Papua atau Kalimantan sana. Lalu Aku bisa tidur nyenyak dengan selimut tebal ala hotel berbintang.
Aku pun sedikit merenung, ngomongin soal rakyat digedung - gedung bertingkat. Membicarakan nasib pembangunan desa di auditorium hotel - hotel bintang tiga sampai lima. Ketika subsidi BBM dibegal entah ke mana. Mungkin dialihkan ke BUMN yang tengah dahaga Atau ke gedung DPR untuk jatah parpol berpesta, Tinggallah minyak yang kapan saja bisa naik harga, Rupiah tumbang kehilangan keperkasaannya, lalu kalian masih bicara semua baik-baik saja… 

Aku pun sama, kembali merenung melihat kondisi sebagai seorang Mahsiswabertumbuh menjadi generasi rapuh Belajar berdiskusi perihal rakyat di kafe-kafe yang mewah, Belajar problem solving di tengah hingar bingar musik diskotik yang hedonis, Belajar soal kebangsaan di mal-mal kota yang kapitalis, Belajar perihal cinta bangsa dari drama-drama korea yang sok romantis, Belajar nasionalisme sekedar dari menyusuri luasnya lapangan futsal. 

Ini ceritaku hari ini, besok dilanjut guys. Intinya pembangunan Desa menjadi tolak ukur kesuksesan sebuah pembangunan Nasional. Program Nawacita untuk membangun Indonesia dari pinggiran harus kita Kawal. Tentunya dengan adanya industri hulu migas yang kesemuanya berada di pinggiran, bukan di samping monas, atau belakang istana merdeka. Bisa mendorong pertumbuhan pembangunan di Desa sekitar tempat beroprasi. Harapannya, ya Ekonomi, sosial dan Budaya masyarakat bisa terpenuhi dengan adil, dan makmur. Maka membesarkan bangsa bisa sedikit demi sedikit kita raih. Sekian guys, selamat tidur. Jangan lupa cuci kaki, gosok gigi, gosok hati nurani. Sebelum Aku tidur, masih terngiang senyuman mereka, walaupun dalam keadaan apa adanya, dan tak ada apa - apanya.

Pengalaman menyusuri daerah Perbatasan, Senyuman di Balik Keterbelakangan!

7 Langkah Mudah Melepas Kutukan Sumber Daya Alam, Demi Membesarkan Bangsa!


7 Langkah Mudah Melepas Kutukan Sumber Daya , Demi Membesarkan Bangsa
Tentang Bisnis Industri Hulu Migas
Fokuscirebon.com, Energi, Migas, - Menjadi suatu hal yang menarik untuk diperbincangkan ketika Kementrian Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM)merilis  tren produksi positif dialami Pertamina sejak tahun 2003 dengan tingkat pertumbuhan rata-rata (Capital Average Gross Ratio/CAGR) mencapai 3,1% dari level produksi 95,6 ribu barrel per hari (MBOPD) di 2003 menjadi 102,2 MBOPD di 2006. Ini merupakan rekor tertinggi. Namun,  masih dibawah Chevron dan Total Indonesia untuk gas. Apanya yang menarik? Fakta yang dirilis sendiri oleh Pertamina yaitu salah satu yang mempengaruhi tren positif terebut dikarenakan adanya peningkatan produksi di blok Cepu, yang memang Pertamina memiliki ‘jatah’ untuk mengelola sampai memproduksi minyak di blok teresbut. Kalau semua blok dikuasai dan dikelola Pertamina bagaimana produktifitasnya dan dampaknya bagi perekonomian? Jawab sendiri!  Yang jelas, Pertamina harus ektra ‘banting tulang’ agar dapat bersaing dengan perusahaan swasta (multinasional) lain dalam hal bisnis industri hulu migas.

BACA JUGA: CERITA TENTANG SEBUAH NEGERI SUMBER ENERGI YANG TERLUPAKAN: INI MANFAAT, HARAPAN DAN SOLUSINYA!



Tumbuh kembangnya industri ekstraktif (minyak dan gas bumi ) ini tak dipungkiri sangat berpengaruh terhadap laju perekonomian. Juga merupakan salah satu sumber pendapatan terbesar  APBN.              Akhirnya, - dan mungkin selalu jadi kebijakan -  Pemerintah terus menggenjot produktifitasnya  , dengan cara membuka kran investasi disektor migas (padat modal). Karena memang seperti yang diungkapkan Satuan Kerja Khusus Minyak dan Gas Bumi (SKK MIGAS) Iklim investasi di sektor hulu migas masih minim, minat investor masih rendah, perlu stimulus – stimulus untuk memancing investor menanamkan modalnya. Padahal Indonesia bakal terus menjadi sasaran ‘empuk’ investor, karena peluang dan potensi SDA yang terkubur di perut buminya, serta  manusianya yang terkenal ramah dan ‘murah’. Memang sejarah membuktikan kita terlalu ramah, pada Kolonial sekalipun!  
 Tingginya ketergantungan atas bisnis hulu migas masih berlangsung –sekaligus pada perusahaan – perusahaanya-  mengingat migas masih menjadi sumber energi utama, hari ini dan mungkin esok nanti. Lantas apa yang akan terjadi dengan gempuran investasi di kemudian hari?  Realitas hari ini, di negara penghasil migas,  berbagai  cara telah diupayakan untuk bisa melawan kutukan sumber daya alam (tak perlu dijelaskan lagi soal kutukan ini), salah satunya dengan program transparansi dan akuntabilitas, kebjikan publik, meminimalisir praktik KKN dan mafia migas, serta  pengalokasian perekenomian yang tepat guna. Tidak sedikit organisasi (LSM dan NGO) yang mengkampanyekan program tersebut, termasuk Pemerintah yang juga ikut  latah. Akan menjadi pembahasan panjang lebar jika mendiskusikan soal program tersebut, apalagi soal praktik nekolim melalui Seven Sister dan lembaga keuangannya, tentu menjadi perdebatan panjang dan sengit pastinya. Pokok permasalahannya, tampaknya kita semua luput dari hal yang paling mendasar , yaitu nilai tambah dari eksplorasi dan eksploitasi bisnis hulu migas yang  kita tidak miliki serta pengelolaannya yang masih bergantung pada perusahaan multinasional. Dengan hanya  kecipratan dari bagi hasil migasnya (kontrak kerja sama) saja sudah riang gembira, disitu terkadang penulis merasa sedih. Ini realitas yang mungkin terkadang terlupakan, atau dlupakan bisa jadi. Bagaimana menurut Anda, sepakat atau tidak?
Solusi yang Ditawarkan
7 Langkah Mudah Melepas Kutukan Sumber Daya , Demi Membesarkan Bangsa


Memang menjadi simalakama bagi Pemerintah, disatu sisi membutuhkan investasi sebagai penopang ekonomi terutama disektor migas. Karena memang bisnis hulu migas  memiliki multiplayer effect yang bisa menggerakan roda perekonomian (karena ketergantungannya tadi). Di sisi lain, pemerintah, mungkin kita semua sebagai warga Negara harus (dipaksa) merelakan isi perut bumi pertiwinya di kuras habis – habisan. Akan tetapi, tidak akan menjadi simalakama jika menyiapkan beberapa langkah, stimulus dan kebijakan, bahkan bisa melepas kutukan itu sendiri dimasa yang akan datang, berikut 7 langkah  solusinya . Pertama, ketergantungan atas sektor bisnis hulu migas sebagai penopang perekonomian sedikit demi sedikit mulai diminimalisir, dengan menggenjot sektor  lainnya seperti jasa, manufaktur dan pariwisata untuk produktifitas ekonomi yang berkelanjutan. Kedua, program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) difokuskan pada pemberdayaan sumber daya yang ada, baik manusia maupun sumber daya alam, melalui program beasiswa pendidikan dan wadah untuk mengimplementasikan ilmunya. Dengan tujuan  masyarakat bisa berdaya guna, bisa lebih maju dan kompetitif. Ketiga, menyisihkan anggaran dari hasil bisnis migas untuk inovasi teknologi dibidang energi baru  terbarukan (Ranaweble Energy). Sumber energi terbarukan tersebut berserekan, tinggal mau atau tidak memanfaatkannya.

 Keempat, mendorong produktifitas tenaga kerja agar bisa menghasilkan inovasi – inovasi teknologi, khusunya disektor  bisnis hulu migas . Kelima, Investasi pada padat karya – tidak melulu pada padat modal -  mulai digerakan, agar bermunculan industri  – industri dalam negri  yang kompeten, dan menciptakan peradaban  maju sehingga dapat bersaing dengan Negara adidaya lainnya. Keenam, investasi di sektor ini bisa tetap dijalankan sepenuhnya, asalkan memenuhi prinsip keadilan, kemanusiaan, demokratis dan tentunya bermanfaat bagi nusa bangsa. Saat ini bagaimana? Memang tidak dipungkiri sektor migas berkontribusi besar bagi pembangunan. Akan lebih berkontribusi jika menggunakan cara Terahir ini, mungkin akan  sulit dilakukan dan bakal mendapat perlawanan dari berbagai penjuru, yaitu melakukan naionalisasi aset atas bisnis hulu migas. Hasilnya Pertamina sendiri telah merilisnya diatas , produktifitas melonjak derastis .  Beberapa solusi ini penulis tawarkan bukan sebagai ajang hardik menghardik atau saling menyalahkan. Melainkan sebatas kewajiban sebagai warga negara, dan tentunya menjadi tanggung jawab moral sebagai insan akademis. Perlu diyakini, Nusantara  berpeluang besar menjadi negara adi daya dan bangsa besar, sumber energi untuk menggerakan roda perekonomian ada disiini, entah yang konvensional atau terbarukan. Hasil tambang lainnya juga masih melimpah, yang oleh negara maju dimanfaatkan untuk mempertahankan hegemoni peradaban, ekonomi dan politiknya hingga detik ini. “We Are The Real United Kingdom”.  Semoga dengan melepas kutukan sumber daya alam, keadilan ekonomi dan kedaulatan bangsa atas sumber daya alamnya bisa tercapai.  Pada akhirnya, penulis yakin betul  industri hulu migas ini bisa benar – benar membesarkan bangsa. Betul atau tidak? Silahkan menyimpulkannya masing – masing! 
7 Langkah Mudah Melepas Kutukan Sumber Daya , Demi Membesarkan Bangsa

Baca Artikel Menarik  Lainnya Dibawah ini:






Featured

Recent Posts Widget