Persetan dengan Istilah Kritik yang Membangun (Konstruktif)



Persetan dengan Istilah Kritik yang Membangun (Konstruktif)
Fokuscirebon, Mojok, Opini - Pernah mendengar istilah “Kritik Konstrukstif”, atau dalam bahasa ala Orba “Kritik yang Membangun”. Istilah ini, belakangan mulai ramai kembali menjadi perbincangan khalayak. Terutama pada saat belakangan ini muncul berbagai polemik yang mengecam keras kinerja Pemerintah. Entah di daerah, regional sampai Nasional sekalipun. Telinga penulis, sudah bosan – sangking seringnya – mendengarnya; mulai dari sekelas Pejabat Publik, Walikota, Ketua DPRD, sampai kepada tokoh – tokoh dalam ruang lingkup organisasi kepemudaan, kemasyarakatan, hingga dunia aktivis mahasiswa. Disinisalah satu warisan Orba berhasil menancapkan hingga ke sendi kehiudpan, menjadi sebuaah kebiasaan, dan diamini sebagai kebudayaan.

Baiklah mari kita bahas, apakah betul kritik harus membangun? Pada mulanya, penulis pribadi memang menjadi salah satu pejuang dalam mempertahankan sekuat tenaga argumentasi bahwa “dimana – mana yang namanya kritik ya harus konstrukstif”. Sehingga dalam menyikapi berbagai persoalan yang padahal terlihat dengan jelas oleh kelopak mata, tidak langsung mengecam dan mengkritik keras. Penulis disibukan dengan mencari literasi, diskusi sana – sini, kajian berlembar – lembar. Karena takut mendapat serangan balik, “Mana solusi yang Anda tawarkan. Jangan hanya bisanya mengkritik. Kritik harus dengan solusi, konstruktif,”

Istilah tersebut yang pada akhirnya penulis sadari secara tidak langsung terkadang membuat kritikan yang semula ingin dilakukan, mandek ditegah jalan, sampai akhirnya tak jadi dan hanya dipendam dalam hati, jadi sebuah unek – unek. Menyadari hal tersebut, akhirnya penulis mencoba mencari beberapa refereni soal awal mula istilah itu muncul. Kemudian pengertian masing – masing kata, dan kapan istilah tersebut biasa dikeluarkan, serta oleh siapa. Istilah ini oleh ponulis probadi dikuliti sampai keakar – akarnya, karena berbahaya kalau tidak, fasisme dan feodalisme akan tetap bertengger permanen dalam akal dan sanubari anak negri.

Pertama, “Kritik Harus Membangun” terdiri dari dua kata yaitu “Kritik” dan “Membangun”. Dilihat dari KBBI pengertian masing – masing adalah sebagai berikut; Kritik adalah sebuah kerja kritis untuk melihat sebuah persoalan secara jeli.  Bukan hanya kebaikannya tapi juga kejelekannya.  Bukan hanya pada saat ini, tapi juga jauh melampaui waktu kini.  Sehingga kritik lebih menjadi jembatan untuk menuju penyelesaian persoalan.  Dan sikap krtis dari kritik jelas akan menyoroti persoalan dengan tajam sehingga akan membuat kuping ‘terasa panas’. 

Sedangkan "membangun" lebih dekat dengan sesuatu yang positif.  Sesuatu yang membanggakan. Jadi dari pengertiannya saja sudah muter balik, bertentangan. Apabila dilihat dari ilmu mantiq atau logika ada sebuah istilah yang disebut “Negasi” atau pertentangan. Kata diawal bertentangan (kontraproduktif) dengan kata selanjutnya, kemudian muncul pertentangan yang pengertiannya bertolak belakang maka dapat disimpulkan bahwa kata tersebut tidak logis (Baca: Tidak Masuk Akal). Kesimpulannya, TIDAK ADA istilah kritik yang membangun!

Becermin Pada Sejarah

Persetan dengan Istilah Kritik yang Membangun (Konstruktif)

Bagi teman – teman aktivis ataupun siapun itu yang sering membaca sejarah, terutama soal pergerakan, tentu tidak asing dengan tokoh – tokohnya. Semisal dalam era sebelum kemerdekaan Djohan Sahroejah (Baca: Pendiri Antara) mengecam keras praktik kooperatif para pemimpin pergerakan Indonesia dengan kolonial. Dalam tulisannya tersebut, tidak ada sebait kata yang isinya soal “membangun” atau “solusi” Akibat tulisannya tersebut, Djohan dianggap menghasut, dan meresahkan, sehingga mendekam di penjara Cimahi, Bandung. 

Contoh selanjutnya, yaitu tokoh pergerakan mahasiswa, aktivis hari ini pasti akrab dengan nama “Soe Hok Gie”, yang menjadi salah satu tokoh pelopor pergerakan mahasiswa era Orde Lama dan Orde Baru. Pada saat tapuk kepemimpinan Soekarno sudah diambang batas, melenceng jauh dari garis perjuangan Indonesia Gie kemudian Menulis. “Sokerano muda jauh berbeda dengan Soekarno Lama. Kelakukannya sudah seperti raja – raja Jawa, dengan selir – selirnya yang terlihat anggun,”. Tidak hanya itu, kemudian Gie mengecam pula ketika melihat seorang pengemis memakan sampah,  jaraknya hanya beberapa meter dari istana kepresidenan. Dengan tulisan – tulisan yang terkenal tajam, menohok, mengkuliti, sarat unsur subjektifitas, dianggap berbahaya dengan nalar kritisnya tersebut. Gie pun terkenal dilingkungan raja – raja Jawa beserta ‘babu’ yang dipeliharanya.

Dari sini kita bisa lihat, manusia – manusia yang terlahir dengan semangat zaman pada saat itu membawanya mengalir terus dengan kecaman, kritikan. Pada akhirnya, bisa membawa bangsa ini kearah yang lebih baik. Nalar kritis tersebut lahir secara alami, dan keberanian untuk mengkritik menguat oleh kaadan yang memaksa mau tidak mau harus mengkritik, agar ada perubahan. Karena tidak akan ada perubahan, tanpa adanya kritikan yang menghantam.

Membangun dengan Kritik


Daniel Dakhidae, seorang Ilmuan yang pernah dimiliki oleh Indonesia merupakan salah seorang tokoh yang mengecam dengan keras praktik rezim Soeharto beserta keroco – keroconya, sampai pada tingtkat RT/RW,  menanamkan – lebih tepatynya mengkampanyekan – slogan yang menjadi salah satu pilar orde baru untuk menghalau serangan lawan politiknya yaitu dengan istilah “Keritik Membangun” Ia pernah mengatakan dan menjadi viral dikalangan yang tersadarkan kurang lebih sebagai berikut "Kritik membangun tak pernah ada.  Karena kritik memang tak mungkin dengan bumbu pujian.  Kritik dengan pujian akan menjadi bukan kritik.  Kritik harus tajam menghujam.  Menguliti apa yang tersurat dan menohok yang tersirat.  Menjelujur hingga ke jantung persoalan”. Masih menurut beliau, seharusnya bangsa ini butuh "membangun dengan krtik" bukan dengan "kritik yang membangun" sebagaimana selama itu dilakukan. 

  Apa bedanya? Dalam "membangun dengan kritik" sangat mengandaikan akan keaktifan orang yang dikritik. Orang yang dikritik, baik secara personal maupun dalam kerangka jabatan yang disandangnya, bukanlah objek yang pasif dan harus mempertahankan diri.  Orang yang dikritik diposisikan menjadi subjek yang siap memperbaiki diri dengan kritik apa pun yang siap diterima sebagai konsekuensi sebagai sebuah jabatan publik.  Sehingga setiap kritik diterima dengan lapang dada dan untuk selanjutnya memperbaiki apa pun yang dilakukannya pada saat itu. Jika "membangun dengan kritik" yang dilakukan bangsa ini, maka bangsa ini akan menjadi bangsa yang besar. 

 Karena setiap kritik, yang pada dasarnya sering dilandasi oleh perbedaan (baik dalam ideologi atau sekedar pendekatan), bisa memperkaya setiap langkah yang sedang atau akan dilakukan oleh bangsa ini.  Sikap frigid terhadap kritik hanya akan menjadikan bangsa ini kerdil dan tak dapat menghindar dari kemungkinan paling buruk, juga tak dapat memperkaya sudut pandang dalam menghadapi setiap persoalan yang datang menghampiri. 

Saat ini, di era yang katanya reformasi dan Demokrasi sebagai pilar utama dimana kerewelan – kerewelan adalah jalan agar setiap langkah terjamin baik bagi semua elemen masyarakat, bukan hanya mementingan segelintir ‘gorila’ dan ‘kingkong’ yang memang menempati posisi sebagai pengusaha dan penguasa. Salah satu bukti kegagalan reformasi jika saat ini kita masih sering mendengar istilah kritik membangun tersebut, dimana praktiknya kita masih bisa melihat, bagaimana para pejabat publik masih hidup bagai raja yang selalu menganggap dirinya wakil Tuhan di muka bumi dan menjadi sebuah keharamjadahan kalau ada rakyat kecil mengkritik kebijakannya.  Pejabat yang jelas-jelas masih terkungkung dalam pola kehidupan publik orde baru. Lagi – lagi, sebuah kemuduran zaman. 

Sangat disayangkan jika istilah ini kemudian masih tertanam kuat dan menjadi sebuah keyakinan yang dianut oleh para generasi penerus bangsa, intelektual muda tonggak peradaban bangsa, yang tidak lain adalah: MAHASISWA! Semoga kalian yang masih menghamba pada istilah tersebut tercerahkan dan tersadarkan, sesegeralah bertobat. Dan mari kita ramai – ramai memberikan kritik!

Notes: Diambil dari berbagai sumber!

Oleh Al-Aziz
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ekonomi, Akuntansi, Tingkat dewa! 
Sumber: Demosmagz.com 



No comments:
Write komentar

Terima kasih sudah bertanya dan memberi komentar. Mohon maaf apabila ada pertanyaan yang tidak bisa kami jawab atau kurang memuaskan!

Featured

Recent Posts Widget