Perang Kedondong, Sebuah Perlawanan Rakyat Terbesar Melawan Belanda yang Terjadi di Cirebon!

Sejarah Cirebon, Fokuscirebon.com -   Perang Jawa yaitu sebuh perlawanan rakyat terhadap penjajah yang waktu itu di pimpin oleh Pangeran Diponogoro, atau juga disebut Perang Diponogoro. Padahal, jauh sebelum itu, sudah banyak sekali pertempuran dan perjuangan oleh rakyat, seperti di Cirebon. Perang Kedondong yang terjadi di Cirebon tahun 1812-1818, merupakan perlawanan rakyat terbesar melawan penjajah. Warga Cirebon, Indramayu, Kuningan, dan Majalengka (Ciayumajakuning) banyak yang bvelum tahu. Berikut ulasannya mengenai Perang Kedondong di Cirebon, sebuah perjuangan dan perlawanan rakyat terbesar dan terlama yang pernah terjadi sepanjang sejarah melawan penjajah di Indonesia.

Era penjajahan (kolonialisasi) di Indonesia oleh Belanda yang memakan waktu kurang lebih 350 tahun (3,5 abad), tentunya tidak berjalan semulus dan semudah yang dibayangkan. Banyak perlawanan - perlawanan rakyat, baik lokal maupun nasional.  Perang Diponogo kita sering mendengar sebagai perang besar berskala nasional. Padahan, jauh sebelum itu di Cirebon sudah terjadi.

Peperang atau pemberontakan rakyat sehingga memicu perang di akibatkan ketidakpuasan rakyat terhadap ketidkadilan dan kesewenang-wenang Belanda kepada rakyat yang juga di dukung oleh orang-orang keturunan Tionghoa (China). Keadaan keraton yang juga semakin rumit dan terjadi perselisihan di internal. Akhirnya merbekak sampai penjuru desa-desa. Pangeran Raja Kanoman dan Ki Bagus Rangin, merupakan seorang tokoh pemimpin perjuangan Perang Kedondong tersebut.Permasalahan kehidupan sosial-ekonomi yang lama terpendam dan buruk ini, Sistem persewaan desa dan penarikan pajak, memunculkan pemerasan oleh residen dan orang Cina, merupakan salah satu pemicu timbulnya pemberontakan rakyat Cirebon. Akhirnya melahirkan kekuatan perlawanan menjadi besar dengan skalanya yang luas.

Pemicu Perang Kedondong


Tahun 1802-1818 adalah waktu terjadinya rentetan pemberontakan, yang meletus pertama kali tahun 1802 dan berakhir tahun 1818. Pemberontakan tidak terjadi setiap tahun, namun ada dua periode pemberontakan besar yaitu tahun 1802-1812 pemberontakan dipimpin oleh Rangin dan periode tahun 1816-1818 pemberontakan dipimpin oleh Jabin dan Nairem.

Bersama para pengikutnya Bagus Rangin melakukan pemberontakan di Cirebon, bahkan sampai meluas ke luar karesidenan Cirebon. Dalam perjalanannya selanjutnya, Bagus Rangin hendak mendirikan negara Panca Tengah dan mengangkat dirinya sebagai raja dimulai dari tahun 1802

Diawal abad 18-an, kedua Putra Panembahan Sepuh Jaenuddin II, yang baru datang dari Pondok Pesantren itu merasakan ketidak nyamanan hidup dan tinggal didalam Istana. Menurut mereka sekarang Keraton itu sangat jauh berbeda bila dibandingkan dengan kehidupannya dulu sewaktu mereka masih kecil dan tinggal didalamnya. Hampir setiap hari sekarang selalu dipenuhi dan didominasi orang- orang bule atau inlander yang pro terhadap Pemerintah Kolonial Belanda. 

Banyak Para Pinangeran yang tidak senang dengan aturan yang sekarang, dimana Kedudukan Sultan sebagai penguasa politik itu dihapus, Sultan hanya diberikan kedudukan sebagai pengelola kesenian dan adat istiadat yang berjalan selama ini. Sultan tidak mempunyai kewenangan apa-apa, bahkan sampai pengangkatan Pangeranpun praktis tidak bisa, semuanya diatur oleh Pemerintah Kolonial Belanda, Sebagai gantinya Sultan mendapatkan subsidi atau gajih dan mendapatkan pensiun dari Pemerintah Kolonial Belanda.

Adanya aturan seperti itu praktis banyak para Pangeran yang tidak diper kenankan mendapatkan Gelar kebangsawanan dari Pemerintah Kolonial Belanda, dan Belanda mewajibkan para pinangeran yang tidak mendapatkan Besluit (SK) diharuskan menjadi Abdi Dalem yang ditugaskan Pemerintah dan Sultan untuk terjun ke masyarakat dalam rangka menangani masalah-masalah social, namun mereka tidak mendapatkan gajih dari Pemerintah. Termasuk diantara para pinangeran yang tidak mendapatkan SK itu adalah kedua putra Gusti Panembahan Sepuh Jaenuddin yakni Pangeran Penengah Abul Khayat Suryanegara dan Pangeran Idrus Surya kusuma Jayanegara atau Pangeran Aryajanegara (Gelar Pangeran itu pemberian langsung dari ayahandanya saat mereka usianya masih kecil-kecil).

Pada saat itu sekitar awal abad 18-an kedua putra mahkota itu memilih pergi meninggalkan kehidupan Keraton untuk menemui seorang ulama sufi yang sudah masyhur di daerah Cirebon dan sekitarnya Kiyai Abdul Mukhyi namanya yang kemudian dikenal dengan sebutan Ki Buyut Muji. Selang beberapa tahun kemudian mereka berdua dinikahkan dengan anak-anak gadisnya Ki Buyut Muji.

Pangeran Suryanegara dinikahkan dengan Nyai Layyinah, dan kemudian menu runkan anak cucunya di daerah Mertasinga, sementara Pangeran Jayanegara dinikahkan dengan adiknya yaitu Nyai Jamaliyah, dan menurunkan anak cucunya kebanyakan tinggal didaerah Plered Cirebon, dan sebagian ada yang di Ciwaringin.

Detik- Detik Perang Kedondong

Pangeran Suryanegara pada saat belajar/nyantri dulu adalah ahli dalam bidang ilmu alat (Nahwu, Shorof, Balaghoh, Manthiq, Ma’ani, Bayan) atau ilmu yang dijadikan salah satu syarat berijtihad dalam menentukan hokum-hukum Islam, karena yang dapat menguasai ilmu tersebut sudah mampu untuk menafsiri al-Quran dengan benar. Sementara Pangeran Jayanegara adalah ahli dalam bidang ilmu fiqih, sehingga beliau selalu berpesan kepada anak cucunya, harus menguasai ilmu fiqih, paling tidak salah satu kitab fiqih Taqrib namanya itu harus bisa dan menguasainya, agar wasiat eyang Gusti 

Sinuhun Kanjeng Sunan Gunung Jati “Ingsun Titip Tajug lan Faqir Miskin” itu bisa dilaksanakan dengan benar. Disamping itu juga Pangeran Jayanegara adalah seorang ahli dalam bidang penyusunan setrategi, sementara Pangeran Suryanegara ahli dalam membuat natijah atau kesimpulan/keputusan. Klop sudah keahlian kedua putra Panembahan Sepuh itu untuk menyusun apa saja, hasilnya sangat bagus.

Keahlian kedua Pangeran itu rupanya sampai didengar oleh kalangan Istana Keraton Kanoman, Putera Mahkota Keraton Kanoman sendiri begitu mendengar ada seseorang yang sangat piawai dalam hal penyusun setrategi itu masih dari kalangan Keraton yang pergi meninggalkan Istananya, hal ini tidak disia-siakan Putra Mahkota yang sudah sangat tidak cocok dengan semua aturan yang ada, Putra Mahkota dengan membawa tekad yang bulat menemui kedua Pangeran itu, untuk membicarakan semua unek-uneknya.

Kehadiran Putra Mahkota ditempat kediaman Kedua Pangeran secara tiba-tiba itu sangat mengejutkan Kiyai Abdul Muhyi mertuanya, namun sebagai ulama sufi Kiyai itu lebih baik diam dan menyimak saja pembicaraan mereka. dalam pertemuan itu obrolan mereka sangat menarik, karena ketiganya sama-sama ahli dalam bidang Syari’at Islam dan sama-sama anti Kolonial Belanda yang telah menyusahkan Cirebon.

Kesimpulan obrolan dalam pertemuan tersebut antara lain : pertama, sepakat perlu diadakan perlawanan, dengan alasan untuk mengembalikan kedudukan Cirebon sebagai penguasa politik dan penentu kebijakan tradisi yang bersendikan syariat Islam, kedua, sepakat hal ini akan dikonsolidasikan dengan teman-teman nyantrinya dulu, seperti mbah Muqoyyim, Jamaluddin Bukhori, Raden Atasangin, Sya’roni, Pangeran Arya Sukmadiningrat, 

Syarif Abdur Rahman warga keturunan Arab yang mengadakan kegiatan da’wahnya di wilayah Cirebon bagian Timur, dan lainnya. Ketiga, semua nama asli akan diganti dengan nama sandi, agar gerak-geriknya tidak di ketahui baik oleh pihak keraton yang pro Belanda, maupun oleh pihak Pemerintah Kolonial.

Hasil kesepakatan itu tidak disia-siakan dan langsung diberitahukan kepada teman-teman dan saudara, secara diam-diam. Setelah mereka berhasil dihubungi kemudian mereka berkumpul lagi ditempat yang sama yaitu ditempat kediaman Kedua Pangeran tersebut. Dan sekaligus malam itu juga (27 Maret 1801) tempat pertemuan itu dikukuhkan sebagai Keraton Perjuangan atau Bayangan, kemudian tersusunlah sebuah rancangan yang sangat bagus. Yakni Putra Mahkota Raja Kanoman ditunjuk sebagai Panglima tertingginya, untuk Koordinator lapangan ditunjuk Pangeran Suryanegara, untuk Penyusun setrategi ditunjuk Pangeran Jayanegara, untuk Pimpinan Daerah ditunjuk mbah Muqoyyim dan dibantu teman-temannya seperti Jamaludin Bukhori, Sya’roni, Pangeran Aryasukma Diningrat, Syarif Abdur Rahman. Sebagai pendahuluan didalam perjuangan itu koordinator daerah ditugaskan sebagai pengganggu setabilitas keamanan daerah.

Pada hari itu juga mereka langsung merubah namanya, Pangeran Penengah Abul Khayat Suryanegara dan Pangeran Idrus Suryakusumah Jayanegara, namanya dijadikan satu menjadi Suryajanegara, Jamaludin Bukhori diganti menjadi Bagus Jabin, Raden Atasangin, diganti menjadi nama panggilan atau singkatan pada saat nyantri dulu yaitu Rangin artinya Raden Atasangin, kemudian dilengkapi dengan Bagus Rangin, dan ada juga yang memanggil Raden Serangin, itu sebenarnya sama sebagai nama julukan atau wadanan (Bahasa Cirebon), dan kemudian untuk Sya’roni sendiri dirubah menjadi Serit atau Bagus Serit, karena Sya’roni itu artinya dua rambut, sehingga dulu dijuluki pada saat nyantrinya dulu dengan nama Serit (Sisir lembut untuk mencari kutu/Tuma). Sementara Aryasukma Diningrat dirubah menjadi Arsitem. Syarif Abdur Rahman diganti menjadi Bagus Sidong

Landasa setrategi mereka dalam perjuangannya disusun dalam sebuah buku yang diberi Judul “Mujarobat” nama buku panduan itu adalah kepanjangan dari “Mujahidin poro Ahlul bait/ahli Keraton” dan agar buku itu tidak diketahui orang lain maka penulisnya ditulis dengan nama “Arsiqum” didalam kitab itu banyak berisi sandi-sandi yang hanya dimengerti kalangan sendiri. 

Markas Besar pertamakali untuk menyusun setrategi perang melawan Belanda dan Pihak Keraton itu berada di Desa Tengahtani tempat tinggalnya kedua Pangeran tersebut, sekaligus dikukuhkan menjadi Keraton perjuangan (sampai saat ini nama itu masih melekat dimasyarakat, dan dijadikan sebuah nama blok yaitu blok Keraton adanya dikomplek masjid Tengahtani).

Untuk lebih memudahkan dalam berkomunikasi, dengan kedua Pangeran itu, akhirnya sepakat nama Suryajanegara itu untuk Pangeran Suryanegara, dan untuk Pangeran Jayanegaranya sendiri lebih tepat diberi nama Rancang, sesuai dengan keahliannya yaitu merancang, sehingga sampai sekarang nama itu dikenal oleh masyarakatnya yaitu Buyut Rancang.

Kehidupan mereka sehari-harinya adalah sebagai tokoh masyarakat yang disegani, punya santri, punya pengajian, dan dakwah kedaerah-daerah. Seperti Jamaludin Bukhori atau Bagus Jabin, dia punya santri jumlahnya ribuan. Raden Atasangin atau Rangin punya santrinya juga ribuan, Sya’roni atau Serrit juga mempunyai ribuan santri, mbah Muqoyyim sama, begitu juga ke dua Pangeran, masing-masing punya santri yang jumlahnya ribuan, sementara Raja Kanoman punya pengaruh sangat besar. Dan hal ini dapat dibuktikan, melalui yang bersifat kerusuhan kecil- kecilan di daerah-daerah, seperrti di Kerawang atau daerah Pantura, Majalengka, Bandung, Sume dang, Cimanuk dan beberapa daerah Cirebon.

Meski satu persatu pemimpin pemberontakan itu tertangkap, namun tidak menyurutkan perlawanan atau pemberontakan terhadap tindakan Pemerintah Kolonial Belanda, seperti yang di alami pewaris takhta Kesultanan Keraton Kanoman yang diangkat sebagai pemimpin tertinggi dalam pemberontakan karena menolak pajak yang diterapkan Belanda, yang dapat memicu pemberontakan di beberapa tempat. Pangeran Raja Kanoman kemudian tertangkap oleh Belanda dan dibuang ke benteng Viktoria di Ambon, dilucuti gelarnya, serta dicabut haknya sebagai Sultan Keraton Kanoman. Namun karena perlawanan rakyat Cirebon tidak juga reda, Belanda akhirnya membawa kembali Pangeran Raja Kanoman ke Cirebon dalam upaya mengakhiri pemberontakan.

 Status kebangsawanan Pangeran Raja Kanoman pun dikembalikan, namun haknya atas Kesultanan Keraton Kanoman tetap dicabut. Sekembalinya ke Cirebon, pada 1808, Pangeran Raja Kanoman tinggal di kompleks Gua Sunyaragi dan bergelar Sultan Amiril Mukminin Muhammad Khaerudin atau Sultan Carbon, walaupun tidak memiliki keraton. Sampai wafat nya pada 1814, Sultan Carbon tetap konsisten dengan sikapnya dengan menolak uang pensiun dari Belanda.

Begitu juga Bagus Rangin tokoh masyarakat dari Bantarjati Majalengka, yang menentang dan memimpin pemberontakan melawan Belanda pada Perang Cirebon tahun 1805-1812. Pada 1805 pertempuran pecah di daerah Pangumbahan, juga terjadi lagi di daerah Karesidenan Cirebon dan pantai utara Jawa. Pasukan Bagus Rangin yang berkekuatan ± 10.000 orang kalah dan terpaksa mengakui keunggulan Belanda. Tanggal Bagus Rangin menerima hukuman penggal kepala di Cimanuk dekat Karangsembung Cirebon. Nama Bagus Rangin saat ini diabadikan menjadi sebuah nama jalan di Bandung dan Cirebon.

Sumber:
Wikipedia Indonesia
Facebook.com

No comments:
Write komentar

Terima kasih sudah bertanya dan memberi komentar. Mohon maaf apabila ada pertanyaan yang tidak bisa kami jawab atau kurang memuaskan!

Featured

Recent Posts Widget