Fokuscirebon.com, cerpen - Waktu itu, sekitar pukul 04 Pagi WIB, Aku menuruni anak tangga dari
sebuah petak kamar tempat seorang Kerabat, Jakarta Selatan kalau tak
salah.
Keluar dari pintu gerbang menuju jalan besar untuk menunggu
Ojek yang telah Aku pesan sebelumnya, dengan jalan yang masih tergopoh,
mungkin karena masih ngantuk, atau sebuah firasat buruk.
Sang
penolongpun sudah tiba, tak banyak omong aku langsung menunggangi kuda
dan menuju ke salah satu Wisma di Jakarta, tempat yang akan Aku kunjungi
selanjutnya. Waktu masih petang Aku rasa, matahari belum terlihat oleh
kelopak mata. Jalanan sudah ramai, lalu lalang kendaraan terlihat saling
berkejaran,
tak peduli samping kiri-kanan, tak peduli depan atau
belakang. Apa memang seperti ini kehidupan di sebuah Kota Megapolitan.
Tak terasa, Aku sudah sampai di tempat tujuan. Beberapa teman sudah
mulai berdatangan, dan kami pun saling bersalaman dengan sedikit
perbincangan - perbincangan sambil menungu kedatangan teman lainnya.
Raut muka riang gembira terlihat dari teman - temanku, seolah - olah
tidak sabar ingin segera sampai ke lokasi. Owh Ia, kami dikumpulkan
sebagai 20 Besar Finalis lomba menulis Esai yang diselenggarakan oleh
SKK MIGAS.
Dan sekarang ini Agendanya kita akan melakukan kunjungan
ke Industri Hulu Migas, tepatnya wilayah operasi dan pemberdayaaan
Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ).
Teman -
teman dari berbagai kampus, favorit dan unggulan di Indonesia, sudah
berkumpul semua. Hanya saja, cuman Aku yang berasal dari kampus basa, di
perbatasan Jawa Barat, tepatnya di Cirebon. Minder? Tak ada dalam
kamusku, apalagi gengsi. Pendidikan pada dasarnya sama saja, kita yang
menentukan pada akhirnya. Langsung saja, kita memasuki semacam Elf,
beserta mas, akang dan teteh panitia yang ramah dan tidak sombong, Aku
suka.
Mobil Elf, mulai bergerak menyusuri jalan - jalan tol dalam
Kota Jakarta, menuju arah Karawang. Seperti biasa, pemandangan di Kota
setiap pagi, hamparan kendaraan yang terbentang saling berdesakan
menunggu gilirtan keluar dari kemacetan, serta gedung - gedung pencakar
langit yang seakan bergandengan tangan, begitu dekat sekali. dan Dibawah
gedung tersebut, bersarang rumah - rumah yang hemmm, lanjutkan sendiri
cerita ini.
Aku fikir, jarak dari Jakarta ke Karawang tidaklah jauh,
paling lama kalau terjebak macet pun sekitar 2 jam. Ternyata Aku salah,
ketika nanya ke Pak Supir dan Teteh Panitia jarak tempuh ke Lokasi
tempat beropasi PHE ONWJ sekitar 4 jam. Aku disitu sontak langsung
terkejut, ko Bisa sampai sebegitu lama, padahal yang apabila ditarik
garis lurus hanya 40 KM dari pusat ibu Kota menuju lokasi, kata Teteh
Panitia yang lainnya. Hemm, jarak yang ditempuh berasa Aku mau balik
lagi ke Cirebon. Karena jarak yang
ditempuh cukup lama, sedikit demi
sedikit Aku mulai terhipnotis oleh jalan tol yang membosankan itu, dan
akhirnya lambat laun aku tertidur. Teman - temanku yang satu mobilpun
sama, pulas. Kecuali Pak Sopir yang masih duduk tegak. Aku tak tahu,
kejadian apa saja yang terlewati saat Aku tidur, hanya saja Aku dan
teman - teman lainnya mulai terbangun karena goyangan mobil makin lama
makin asyik. Sangking Asyiknya sampai terpontang panting kepala ke kanan
dan kiri. Kenapa bisa demikian? Ya tidak lain karena memang akses jalan
transportasi menuju lokasi sangat menghawatirkan.
Jalan bebatuan, ditambah lumpur yang terendam air hujan, jalan off road banget pokoknya.
Aku tak terbayangkan sebelumnya, logika dan nalar sehatku tidak sampai.
Bayangkan saja guys, daerah yang letaknya tidak jauh dari Ibu Kota
tempat para Pejabat yang gagah, dan mungkin enggan ke tempat Ini, takut
sepatu pantopel dan jaz kebanggannya kotor terkena lumpur pedesaan.
Sudah 71 tahun Indonesia merdeka, dan perusahaan MIGAS (asing sebelum
Pertamina) puluhan tahun bercokol dan beroparasi di daerah ini, akses
jalan baru di bangun tahun ini, ya TAHUN INI! Ngapain aja? Desa tempat
mereka merauk pundi - pundi keuntungan sampai tidak terawat, Pemerintah
juga tak terlihat!
Berhubung sedang ada perbaikan jalan, Aku beserta
rombongan lainnya tidak bisa melintasi agar sampai ke Loksi. Hanya ada
satu alternatif, yaitu jalur Air, sungai tepatnya. Aku turun lebih
dahulu dari mobil, teman - teman yang lain masih asik didalam mobil
menikmati AC. Karena memang diluar panas, hemm lagian mana ada daerah
pesisi yang sejuk! Sambil menunggu perahu dan perlengkapan keamanan
untuk melintas, Aku memesan Es untuk menghilangkan dahaga, sekaligus
mungking mendinginkan hati dan otakku yang mendadak panas melihat
keadaan sekitar daerah ini. Dengan pelayanan ramah, dan sentuhan
tangannya
yang sudah terlihat keriput seorang nenek memberikan ES
yang Aku pesan. Sambil menikmati ES dan sebatang tembakau Aku ngobrol
bersama para supir dan kaka panitia. Bagiku, tembakau dan kopi adalah
media komunikasi. Suasana perbincangan akan semakin terasa aklrab.
Sambil memperhatikan Nenek pemilik Warung Gubuk ini Aku bertanya, "Nek,
Ini Jalan diperbaiki dari kapan? Dan sejak kapan terahir ada jalan
dibangun seperti ini?" Sambi mata menatap ke atas, artinya Nenek sedang
mengingat - ngingat lalu dengan lembut menjawab. " Tidak tahu Mas, Lupa.
Tahunya, ini baru dibangun lagi jalannya," Entah karena faktor
usia, atau karena memang sudah begitu lama jadi Nenek ini tidak Ingat
lagi. Namun, mendengar pertanyaanku, seorang panita ikut nimbrung dan
menjawab, " Kami baru bangun Jalan Ini, bekerja sama dengan Pemda
setempat," ujarnya.
Sebetulnya Aku masih ingin berbincang
panjang lebar dengan Nenek ini dan warga lainnya. Sayangnya, perahu dan
perlengkapan lain sudah tiba. Dan teman- temanku yang lainnya mulai
turun dari mobil. Dengan bergesa - gesa, untuk mendapatkan perlengkapan.
Hemm, takut tidak kebagian kayaknya. Perlengkapan seperti helm dan
jaket pelampung sudah Aku pakai, kemudian ada sedikit arahan untuk
safety prosedur. Aku mendengarkan, teman - temanku juga sama. Hikmat
sekali kelihatannya. Selai arahan, Aku mulai menaiki perahu kayu warga
sekitar, teman - temanku juga menaiki perahu, tentunya berbeda - beda,
mengingat kapasitas daya tampung
perahu. Kebetulan sekali, Aku satu
perahu dengan Kordinator Pemberdayaan masyarakat dari Pertamina. Dengan
sedikit mendekatkan diri, karena tidak terdengar oleh suara mesin disel
perahu, Aku dan teman lainnya mulai membuka obrolan. Berbagai
pertanyaan dilontarkan teman - teman, mulai dari akses jalan, air,
sanitasi, faskes dll. Yang intinya, semuanya masih sangat tertinggal dan
terbelakang, titik!
Sungai terlihat lebar dan dalam ini sedikit
menghibur mata, disamping kiri tanaman - tanaman bakau berhamparan, bisa
dibilang hutan bakau. Disebelah kanan, terlihat anak - anak, pemuda,
dan orang tua yang melihat perahu kami sambil tersenyum melambaikan
tangannya. Luar biasa, serasa jadi bahan perhatian publik sekitar.
Perahu kami tidak lepas dari tatapan mata para penduduk sekitar.
Kemudian Bapak Kordinator ini mengatakan, "Jangan kaget, warga disini
memang demikian. Jangankan perahu, melihat mobil juga udah kayak
ngelihat harta karun. Benar - benar terisolir, sinyal ponsel pun hanya
kartu tertentu. Tak terasa sudah sejam lebih kami mengarungi sungai yang
menjadi akses tyransportasi warga ini,
dan akhirnya sampai di Desa
Sedari, daerah paling ujung Kabupaten Karawang. Ada sekitar 4000 orang
dan 100 lebih KK yang berada di Desa Sedari ini, dengan luas Desa sampai
ribuan hektar. Mayoritas warga berperkerjaan sebagai petani tambak,
nelayan sebagian, yang itu semua dijual ke tengkulak - tengkulak yang
sudah siap menunggu. Karena memang tidak ada Tempat Pelelangan Ikan
(TPI) di Desa Sedari ini. Setelah turun dari perahu, jalan disini pun
sama terlihat becek. Meamng terlihat seperti terkena pasang (rob) atau
hujan. Kemudian, kami diajak oleh Panitia mengunjungi salah satu tempat
pemberdayaan masyarakat yang dikelola oleh Pertamina. Sejak 2009
Pertamina mengakuisi blok ONWJ ini. Produksinya pun meningkat dari
sebelumnya,
salah satu prestasi, Pertamina kembali melakukan
nasionalisasi Aset SDA Indonesia. Dan pada Tahun 2013 kalau tidak salah,
Aku lupa, mulai dibangun istalasi air bersih (mineral) program CSR dari
PHE ONWJ. Karena memang Air di Desa Ini Asin, dan tidak layak untuk
dikonsumsi. Air payau disini diolah menggunakan alat yang kemudian
menjadi AIR MINERAL. Tempat isi ulang Air ini menjadi satu - satunya
sumber air bersih yang ada di Desa Sedari.
Mnejadi tumpuan masyarakat untuk makan, minum, cuci hingga mandi.
Informasi yang membuat merinding, dan memilukan lagi yaitu selain soal
akses jalan tadi. Akses terhadap Air layak konsumsi juga baru bisa
dinikmati oleh masyarakat beberapa tahun kebelakang. Yang sebelumnya,
selama berpuluh - puluh tahun masyarakat mengandalkan Air hujan dengan
membuat penampungan untuk kebutuhan Airnya. Digunakan untuk minum, mandi
dll. Tidak sedikitpun memikikran kesehatan, bagi masyarakat yang
penting bisa mendapatkan Air. Bahkan sampai memburu Air Hujan. Jadi
kalau di desa sebelah hujan, masyarakat membawa drigen untuk
menampungnya. Istimewa bukan perjuangan masyarakat disini?
Padahal
disebelahnya berdiri fasilitas pengeboran minyak dan gas bumi.
Dilautnyapun terlihat ada fasilitas sama. Kita tahu sendiri, jumlah
keuntungan yang diboyong perusahaan migas (asing) berapa selama berpuluh
- puluh tahun beroprasi di blok ini? Dan ditinggalkan kembali ke
negeri Asalnya dengan menyisakan ketimpangan sosial, ekonomi dan budaya.
Berbeda setelah di pegang kendali oleh Pertamina. Yang secara
psikologis sebagai orang Indonesia pasti setidaknya bakal terharu
melihat kondisi warga sekitar sebagai seorang manusia. Kpedulian itu
kemudian muncul dan membuat beberapa program CSR berbasis pemberdayaan
dan perbaikan infrastruktur. Seperti tadik yang diceritakan, instalasi
air bersih, jalan, BUMDES, sampai Jembatan Baru yang sangat dirindukan
oleh warga. Karena tadinya jembatan tersebut hanya dari susunan bambu selama berpuluh tahun, hanya bisa dilewati motor.
Soal akses kesehatan pun juga sama, tidak kalah mengagetkan dengan
cerita tadi. Angka kematian bayi sangat tinggi, karena mengandalkan
dukun bayi. Dan bidan baru ada sekarang - sekarang ini, tentunya yang
juga memiliki jiwa sosial tinggi karena mau didempatkan di daerah
pelosok, walupun dijawa, belum di Papua. Sanitasi juga masih buruk,
walaupun sudah dibangun WC Umum tetap saja susah. Perlu waktu untuk
merubah itu, karena memang sudah jadi kebiasaan,warga buang air besar
dan kecil disungai, soal kenyamanan katanya.
Puskesma pembantu juga
baru ada ada, sebelumnya warga perlu menempuh jarak puluhan kilo untuk
ke Puskesmas. Dengan menggunakan perahu itu juga. Ditambah lagi soal rob
dan pasang, sampai memasuki rumah - rumah warga. Menmbah sederet cerita
haru selanjutnya, yang memang menjadi PR bagi tim pemberdayaan dari PHE
ONWJ.
Setelah diajak melihat - lihat kondisi desa, kemudian kami
diajak menuju rumah Pak Lurah, atau Kepala Desa Sedari. Dengan melewati
perkampungan warga, anak - anak menghampiri sambil berjabat tangan, ibu
- ibunya tersipu ramah. Tibalah kami di rumah Kepala Desa tadi, yang
katanya akan dijamu makan siang. Sesampainya di rumah Kades, sedikit
terkejut juga Aku melihat rumah pak Kuwu. Warna cetnya yang begitu
ngejreng, luas rumah dan perabotan dalamnya terlihat kontras dengan
rumah - rumah yang ada di sekitarnya.
Rumah bilik, setengah bilik,
setengah bata, ada yang belum jadi, yang reot juga banyak. Malum,
namanya juga kepala Desa, tak Aneh kalau beda sendiri. Setelah usai
makan di rumah Kuwu, kami melanjutkan Sholat Duhur dan kemudian menuju
wilayah operasi PHE ONWJ.
Disini kami kembali mendapatkan berbagai
materi, soal mitos Indonesia Kaya Migas. Soal investasi migas yang harus
digenjot. Soal produksi migas. Kesemuany menambah wawasan kami
tentunya. Dan pematerinya langsung oleh manajer PHE ONWJ, kesempatan
menarik bisa bertemu.
Setelah itu kami semua berbondong - bondong
menuju lahan untuk melakukan penanaman pohon bakau. Yang tujuannya tak
lain dan tak bukan untuk mengatasi abrasi, rob dan pasang. Dengan
harapan agar pohon ini bisa tumbuh kembang maksimal, dan bisa melindungi
warga - warga sekitar. Program menarik, setiap karyawan pun diwajibkan
menysisihkan gajihnya utuk membeli bakau dan ditanam langsung. Aspek
lingkungan dan keberlanjutan jangka panjang benar - benar
diperhitungkan.
Kegiatan kami hari ini selasi dengan mengunjungi
Desa Sedari dan ditutup dengan penanman tadi. Kemudian melanjutkan
perjalanan ke Karawang untuk tidur di Penginapan.
Sebetulnya
malu Aku menceritakan ini, setelah Aku mengnjungi daerah yang benar
tertinggal di Jawa, bukan di Papua atau Kalimantan sana. Lalu Aku bisa
tidur nyenyak dengan selimut tebal ala hotel berbintang.
Aku pun
sedikit merenung, ngomongin soal rakyat digedung - gedung bertingkat.
Membicarakan nasib pembangunan desa di auditorium hotel - hotel bintang
tiga sampai lima. Ketika subsidi BBM dibegal entah ke mana. Mungkin
dialihkan ke BUMN yang tengah dahaga Atau ke gedung DPR untuk jatah
parpol berpesta, Tinggallah minyak yang kapan saja bisa naik harga,
Rupiah tumbang kehilangan keperkasaannya, lalu kalian masih bicara semua
baik-baik saja…
Aku pun sama, kembali merenung melihat kondisi sebagai
seorang Mahsiswabertumbuh menjadi generasi rapuh Belajar
berdiskusi perihal rakyat di kafe-kafe yang mewah, Belajar problem
solving di tengah hingar bingar musik diskotik yang hedonis, Belajar
soal kebangsaan di mal-mal kota yang kapitalis, Belajar perihal cinta
bangsa dari drama-drama korea yang sok romantis, Belajar nasionalisme
sekedar dari menyusuri luasnya lapangan futsal.
Ini ceritaku
hari ini, besok dilanjut guys. Intinya pembangunan Desa menjadi tolak
ukur kesuksesan sebuah pembangunan Nasional. Program Nawacita untuk
membangun Indonesia dari pinggiran harus kita Kawal. Tentunya dengan
adanya industri hulu migas yang kesemuanya berada di pinggiran, bukan di
samping monas, atau belakang istana merdeka. Bisa mendorong pertumbuhan
pembangunan di Desa sekitar tempat beroprasi. Harapannya, ya
Ekonomi, sosial dan Budaya masyarakat bisa terpenuhi dengan adil, dan
makmur. Maka membesarkan bangsa bisa sedikit demi sedikit kita raih.
Sekian guys, selamat tidur. Jangan lupa cuci kaki, gosok gigi, gosok
hati nurani. Sebelum Aku tidur, masih terngiang senyuman mereka,
walaupun dalam keadaan apa adanya, dan tak ada apa - apanya.